REPUBLIKA.CO.ID, QUEENSLAND -- Para arkeolog menemukan ratusan kamp militer Native Mounted Police (NMP) di Queensland, yang mengungkap sejarah kebrutalan Australia di masa lalu.
Antropolog Profesor Bryce Barker yang memimpin penelitian ini menyatakan hampir di setiap komunitas aborijin di Queensland memiliki narasi tentang pembantaian yang mereka alami. Kamp-kamp NMP itu didirikan pertengahan 1180-an untuk menunjang para pemukim yang seringkali terlibat konflik dengan penduduk asli yang melakukan perlawanan terhadap pendudukan Eropa.
Pasukan NMP didatangkan dari bagian lain Queensland atau New South Wales, di mana komunitas Aborigin telah hancur dan tanah mereka telah dikuasai. "Polisi pribumi merupakan pasukan paramiliter, terdiri atas seorang perwira atau sersan kulit putih, tapi pasukan utamanya dari kalangan aborijin," kata Prof Barker.
Mereka ini, katanya, terdiri atas pemuda aborijin yang secara tradisional tidak lagi memiliki jalan meraih sukses. "Masyarakat mereka telah dihancurkan," katanya.
Minim bukti pembunuhan massal
Pasukan NMP memimpin penumpasan perlawanan pejuang-pejuang aborijin, menewaskan banyak penduduk asli di seantero Queensland. "Kita tahu dari catatan dokumentasi bahwa pembantaian dan kekerasan di garis depan itu relatif meluas," kata Prof Barker.
"Sepanjang abad ke-19 setiap kali pembantaian diketahui publik, seringkali dilakukan penyelidikan," ujarnya.
Namun lokasi-lokasi pembantaian seringkali sulit ditentukan karena kondisi konflik tersebut. "Native Mounted Police akan mendatangi perkampungan, menembak dua atau tiga penduduk, dan semuanya akan lari ke hutan," kata Prof Barker.
"Seringkali mayat mereka dibakar. Atau penduduk kemudian kembali dan menguburkannya menurut tradisi. Jadi sangat tidak mungkin kita menemukan kuburan massal penduduk yang dibantai," ujarnya.
Berdasarkan catatan dokumentasi, tim arkeolog mulai menemukan bukti-bukti fisik terkait dengan konflik di garis depan ini. "Yang langsung kami temukan yaitu bahwa polisi Queensland mendirikan kamp-kamp di seluruh Queensland," kata Prof Barker. Dijelaskan, setidaknya ada 200 kamp yang didirikan di seluruh Queensland.
Meskipun banyak kamp NMP hanya ditempati beberapa bulan, namun ada yang dipelihara sampai 20 tahun. Hal itu membesarkan harapan tim peneliti akan adanya sisa-sisa fisik di sana. "Kami menggunakan peta lama untuk menemukan kamp-kamp ini," katanya.
Tujuannya, kata Prof Barker, bukan hanya untuk merekam lokasinya secara tepat, tetapi juga melakukan penggalian untuk mengetahui bagaimana kehidupan penghuni kamp-kamp tersebut. "Ini tersebar di seluruh Queensland. Kamp polisi pribumi pertama ada di Goondiwindi sebelum Queensland menjadi negara bagian," ujarnya.
Pemukim menyebar, NMP kian dibutuhkan
Ketika pemukim Eropa menyebar ke barat dan utara Queensland, kamp-kamp NMP pun semakin banyak didirikan untuk memerangi perlawanan penduduk setempat.
"Jadi begitu pemukim pindah ke daerah baru, akan ada surat ke kantor kolonial di Brisbane 'meminta perlindungan NMP dari serangan orang kulit hitam'," kata Prof Barker.
Kamp-kamp itu dipertahankan selama konflik masih berlangsung, tergantung pada situasi medannya. Di daerah pegunungan dan sulit bagi pasukan berkuda, pejuang aborijin mampu menahan serangan polisi NMP melalui taktik gerilya untuk waktu yang lebih lama.
Di utara Queensland, di sekitar Kota Laura, polisi pribumi beroperasi selama 20 tahun lamanya. "Semakin ke barat, semakin datar wilayahnya, semakin pendek pula durasi kamp karena penduduk tak punya tempat melarikan diri," kata Prof Barker.
Dalam menjalankan tugas, katanya, polisi-polisi pribumi ini menunggang kuda dilengkapi dengan senapan Snider. Tim peneliti menemukan artefak yang memperkuat keberadaan kamp-kamp NMP, seperti Snider dan peluru.
"Snider adalah senjata yang dikeluarkan pemerintah. Ini bukan senjata yang dimiliki pemukim. Satu-satunya alasan adanya senapan ini adalah karena adanya NMP," jelasnya.
Tim juga menemukan kancing seragam, setengah bulat dengan mahkota dan tulisan Victoria Regina. Salah seorang penduduk aborijin yang turut membantu penelitian ini, Colin McLennan, mengaku mendengar kisah pembantaian dari tetua setempat.
Kisah yang didengarnya, katanya, begitu mengejutkan bahkan bagi pria kuat seperti dia. McLennan mendengar kisah bagaimana pasukan polisi menggiring orang aborijin ke tebing dan memaksa mereka jatuh ke bawah.
"Ada tempat yang mereka sebut 'Niggers Bounce' (tempat Negro Melompat). Ada juga 'Murdering Lagoon'," katanya.
Sejarah lisan
McLennan mengatakan tim peneliti tak perlu menggali lebih dalam untuk menemukan bukti keberadaan polisi NMP di kampungnya di Jangga, Queensland utara. Tim ini, katanya, menemukan banyak kancing seragam polisi. Menurut dia, temuan ini berkorelasi dengan cerita orang-orang tua.
McLennan mengaku merasakan kehadiran arwah-arwah leluhur di tempat yang jadi lokasi pertempuran di masa lalu. Dia berharap bagian sejarah Australia ini bisa lebih dipahami.
"Waktu kita belajar studi sosial bertahun-tahun lalu, kita belajar tentang Kapten Cook. Hal itu tidak menjelaskan tentang orang-orang aborijin," katanya.
Prof Barker mengatakan kekerasan di garis depan mencerminkan keputusasaan masyarakat aborijin dan pemukim dalam mempertahankan kehidupan masing-masing. "Para pemukim awal ini telah menginvestasikan segalanya," katanya. "Mereka datang dengan keluarga, istri, ke sebuah lanskap asing."
"Jadi mereka mempertaruhkan segalanya untuk itu, mereka akan melakukan apa pun untuk membuatnya berhasil," tambahnya.
Prof Barker mengatakan penelitiannya ini mendapatkan dukungan luas, termasuk dari para pemilik pertanian yang merupakan keturunan pemukim awal Eropa.
"Kadang pemilik peternakan masih keturunan pemukim awal yang menulis surat meminta bantuan polisi NMP," katanya.
"Saya pikir warga Australia sudah siap untuk mengakui hal ini. Orang tertarik pada sejarah tanah mereka sendiri," tambahnya.
Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini.