REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL – The Institute for Peace and Unification Studies (IPUS) di Seoul National University telah merilis hasil survei tentang hambatan perdamaian di Semenanjung Korea. Hasil survei mengejutkan karena responden tak memandang Korea Utara (Korut) sebagai hambatan utama, tapi justru Cina.
Sebanyak 1.200 responden mengikuti survei IPUS, Mereka berusia antara 19-73 tahun. Survei dilakukan antara 12 Juli dan 3 Agustus. Dalam survei tersebut, pertanyaan inti yang diajukan adalah perihal hambatan perdamaian di Semenanjung Korea.
Sebanyak 46 responden memandang Cina sebagai negara paling mengancam untuk perdamaian di Semenanjung Korea. Angka tersebut mengalami peningkatan signifikan dibandingkan hasil survei pada 2016. Kala itu, hanya 17 persen responden yang menilai Cina adalah ancaman bagi perdamaian di Semenanjung Korea.
Sementara, 33 persen responden menilai Korut adalah negara yang menimbulkan ancaman terbesar bagi perdamaian di Semenanjung Korea. Angka tersebut menurun cukup drastis dibandingkan survei pada 2016, di mana 64 persen responden masih menilai Korut sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian di Semenanjung Korea.
Dalam survei tersebut, sebanyak 91 persen responden menilai Cina tidak menginginkan adanya reunifikasi antar-Korea. Di bawah Cina menyusul negara-negara berikutnya yang dinilai tidak menghendaki reunifikasi, yakni Jepang (90 persen), Rusia (88 persen), dan Amerika Serikat (53 persen).
Peneliti senior IPUS, Choi Gyu-bin berpendapat hasil survei itu dipengaruhi oleh perselisihan tentang Terminal High Altitude Area Defense (THAAD), yakni sistem pertahanan antirudal milik AS yang dikerahkan di wilayah Korsel sejak 2016. Beijing melihat THAAD sebagai ancaman yang menargetkannya.
“Pembalasan ekonomi Cina terhadap keputusan Seoul mengizinkan THAAD untuk dikerahkan di Korsel telah berdampak negatif pada persepsi warga Korsel terhadap Cina,” kata Choi, dikutip laman South China Morning Post, Rabu (3/10).
Selain itu, Cina memulai kampanye tidak resmi yang agresif untuk menghentikan kelompok tur di negaranya melakukan kunjungan ke Korsel. Aksi semacam boikot itu membebani industri pariwisata Korsel sebesar 6,7 miliar dolar AS antara Januari dan September tahun lalu.
Pemerintah Cina juga menargetkan perusahaan multinasional yang bermarkas di Seoul, yakni Lotte, yang setuju untuk menyediakan lahan bagi THAAD. Karena keputusan Lotte, Cina mendenda praktik periklanannya dan menutup sejumlah besar supermarketnya di Cina. Beijing pun mengintensifkan inspeksi pabean perusahaan Korsel.
Serangkaian tindakan Cina itu, sedikit atau banyak, telah mempengaruhi persepsi warga Korsel terhadap Beijing. Menurut Choi, hal itu ditopang dengan memulihnya hubungan antara Korut dan Korsel. “(Hasil survei) mungkin juga merupakan reaksi (sederhana) karena peningkatan cepat keintiman terhadap Korut,” katanya.
Choi menilai, perhelatan KTT Antar-Korea dan KTT Korut-AS telah menyumbang pengaruh besar terhadap penurunan persepsi negatif warga Korsel kepada Korut. Terlebih saat KTT Antar-Korea, kedua negara bersumpah untuk mengakhiri tujuh dekade permusuhan mereka.
Dalam survei itu, sebanyak 50 persen responden menyebut kebangkitan Cina tidak berdampak pada penciptaan perdamaian di Semenanjung Korea. Sedangkan, 22 persen responden lainnya menilai kebangkitan Cina akan secara positif mempengaruhi kawasan tersebut.
Kemudian sebanyak 53 persen responden meminta Korsel mempertahankan posisi netral selama perang dagang Cina dan AS berlangsung. Sementara, 39 persen responden mengatakan Korsel harus meningkatkan kerja sama hanya dengan Washington. Sedangkan 8 persen lainnya meminta Korsel hanya meningkatkan kerja sama dengan Cina.