Kamis 04 Oct 2018 08:12 WIB

Harga Minyak Brent Sentuh Level Tertinggi

Amerika Serikat menambah pasokan minyak mentahnya hingga delapan juta barel.

Kilang minyak Iran.
Foto: Iranian Presidency Office via AP
Kilang minyak Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak mentah Brent naik hampir dua persen pada akhir perdagangan Rabu (3/10), setelah sempat mencapai tingkat tertinggi baru dalam empat tahun. Kenaikan ini disebabkan oleh fokusnya pasar pada sanksi-sanksi AS mendatang terhadap Iran.

Sementara itu, pasar mengabaikan peningkatan mingguan terbesar dalam cadangan minyak mentah Amerika Serikat serta laporan kenaikan produksi Arab Saudi dan Rusia. "Tidak ada masalah antara saat ini hingga 4 November," kata Bob Yawger, direktur berjangka di Mizuho di New York, mengacu pada tanggal ketika sanksi AS berlaku penuh. 

Badan Informasi Energi AS (EIA) mengatakan persediaan minyak mentah AS melonjak delapan juta barel pekan lalu. Jumlah ini empat kali lipat dari ekspektasi para analis dan merupakan kenaikan terbesar sejak Maret 2017.

Minyak mentah Brent untuk pengiriman Desember naik 1,49 dolar AS atau 1,8 persen, menjadi menetap di 86,29 dolar AS per barel. Harga brent sempat berada di level mencapai 86,74 dolar AS, tertinggi sejak 30 Oktober 2014.

Sementara itu, minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November, ditutup 1,18 dolar AS atau 1,6 persen lebih tinggi pada 76,41 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange. Harga WTI sempat menyentuh harga tertinggi sesi 76,90 dolar AS.

Kedua patokan sempat merosot saat pemerintah AS merilis angka persediaan minyak mentahnya. Namun, harga tersebut kemudian melanjutkan kembali kenaikan mereka.

"Komunitas spekulatif mengambil kesempatan untuk membeli pada saat (harga) turun," kata Yawger.

Pada awal sesi, minyak mentah terdorong lebih rendah karena Menteri Energi Saudi, Khalid al-Falih mengatakan, kerajaan itu telah meningkatkan produksi menjadi 10,7 juta barel per hari pada Oktober dan akan memompa lebih banyak lagi pada November. Rekor tertinggi untuk produksi Saudi adalah 10,72 juta barel per hari pada November 2016.

Rusia dan Arab Saudi mencapai kesepakatan pribadi pada September untuk meningkatkan produksi minyak. Keduanya berbuat demikian guna mendinginkan kenaikan harga dan memberi tahu Amerika Serikat sebelum pertemuan di Aljazair bersama produsen-produsen lainnya.

Namun demikian, Iran menuduh Arab Saudi dan Rusia melanggar kesepakatan OPEC tentang pengurangan produksi dengan memproduksi lebih banyak minyak mentah. Iran menambahkan bahwa kedua negara itu tidak akan mampu menghasilkan minyak yang cukup untuk menggantikan penurunan ekspor Iran.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya telah membatasi pasokan sejak 2017 untuk mengatasi kelebihan pasokan global. Mereka mengurangi sebagian pemotongan pada Juni, di bawah tekanan dari Presiden AS Donald Trump untuk mendinginkan harga.

Seorang analis mengatakan rencana Saudi untuk memproduksi minyak lebih banyak tidak akan banyak berubah.

"Saudi masih sangat malu-malu, pasar ingin melihat sesuatu yang lebih proaktif," kata analis Petromatrix, Olivier Jakob.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement