REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Laporan World Economic Outlook Dana Moneter Internasional (IMF) terbaru memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun ini stagnan di level 3,7 persen. Lembaga ekonomi terbesar di dunia ini juga merevisi proyeksi ekonomi global 2019 dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen.
"Pertumbuhan 2019 cenderung melambat 0,2 persen. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan masih 3,7 persen," kata ekonom sekaligus Direktur Departemen Penelitian IMF, Maurice Obstfeld di Medan Room, Hotel Westin, Nusa Dua, Selasa (9/10).
Lebih lanjut Obstfeld memaparkan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS) dan Cina ikut terkoreksi ke bawah. IMF memperkirakan ekonomi AS hanya bertumbuh 2,9 persen (2018) dan 2,5 persen (2019), sementara Cina 6,6 persen (2018) dan 6,2 persen (2019).
AS yang mendukung paket fiskal kenaikan suku bunga sempat mengalami penguatan ekonomi tahun ini. Namun, IMF dalam hal ini tetap menurunkan proyeksi ekonomi AS 2019 didorong ancaman kebijakan balasan yang akan diberlakukan Cina jika AS memberlakukan tarif impor baru.
IMF juga memperkirakan pertumbuhan Cina tahun depan melandai. Ini didorong kebijakan Cina yang cenderung mencegah penurunan pertumbuhan lebih besar dari yang diproyeksikan.
"Secara keseluruhan, dibanding enam bulan lalu, proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara maju 2018-2019 0,1 persen lebih rendah, termasuk penurunan peringkat euro, Inggris Raya, dan Korea," kata Obstfeld.
Revisi negatif lebih dalam terjadi pada negara-negara berkembang, termasuk Amerika Latin (Argentina, Brasil, dan Meksiko), Eropa (Turki), Asia Selatan (India), Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia), Timur Tengah (Iran), dan Afrika Selatan. IMF merevisi penurunan proyeksi ekonomi negara-negara tersebut -0,2 poin tahun ini dan -0,4 poin tahun depan.
Dampak dari kebijakan dagang, seperti yang diberlakukan AS dan Cina menimbulkan ketidakpastian makroekonomi. Ketidakstabilan politik di beberapa negara memperparah risiko lebih lanjut.
Pemerintah, kata Obstfeld perlu menyiapkan amunisi fiskal dan moneter lebih banyak dibanding krisis keuangan global 10 tahun lalu. Pemerintah juga perlu membangun batasan fiskal dan meningkatkan ketahanan ekonominya dengan berbagai cara, termasuk meningkatkan regulasi keuangan, memberlakukan reformasi struktural, dan memperluas pasar, dan tenaga kerja.
"Pertumbuhan inklusif lebih penting," katanya.