REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Pulihnya ekonomi Amerika Serikat (AS) yang terlihat dengan makin perkasanya dolar AS, naiknya imbal hasil surat utang AS (yield US Treasury) tumbuh dan suku bunga acuan yang terus dinaikkan, semakin menekan negara-negara berkembang. Kondisi pasar AS yang dianggap lebih menguntungkan ini mulai menyedot dana yang tersimpan di negara-negara berkembang.
Dalam laporan terbarunya, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi dana yang keluar (outflow) dari pasar negara berkembang, selain Cina, mencapai 100 miliar dolar AS dalam jangka menengah. Angka ini setara dengan outflow yang terjadi selama krisis keuangan global 2008.
"Analisis risiko utang IMF menunjukkan bahwa ada probabilitas 5 persen bagi ekonomi negara berkembang (tidak termasuk Cina) dapat menghadapi portofolio keluar dalam jangka menengah sebesar 100 miliar dolar AS," jelas Financial Counsellor and Director of the Monetary and Capital Markets IMF Tobias Adrian, Rabu (10/10).
Tobias menyebutkan, risiko jangka pendek terhadap stabilitas keuangan global sedikit meningkat dalam enam bulan belakangan. Menurutnya, pengetatan kebijakan keuangan di negara maju mau tak mau akan meningkatkan risiko jangka pendek bagi negara berkembang.
"Kerentanan yang telah dibangun selama bertahun-tahun dapat terpapar oleh pengetatan kondisi keuangan yang tiba-tiba dan tajam," katanya.
Tobias juga memandang bahwa risiko pasar keuangan di negara berkembang saat ini lebih moderat dibanding kondisi krisis tahun 1998 silam. Meski begitu, utang luar negeri di negara berkembang diproyeksi akan terus meningkat.
"Kondisi mungkin akan tetap menantang, karena bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga," katanya.