REPUBLIKA.CO.ID, Tak sedikit ulama yang mengambil jalan membunjang sepanjag hayat mereka. Menurut Syekh Abd al-Fattah Abu Ghadda dalam kitabnya yang berjudul Al-Ulama’ al-‘Uzzab Alladzina Atsarul ‘ilma ‘Ala az-Zawaj, keputusan tersebut adalah jalan yang sangat personal yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri.
Dengan naluri dan mata hati mereka yang sangat tajam, mereka memilih antara dua pilihan yang sama-sama berat yaitu menikah atau atau tetap membujang dengan berbakti pada kebaikan ilmu. Dan yang penting digarisbawahi, para ulama tersebut tidak pernah mengajak, mengampanyekan, dan mempropagandakan jalan membujang yang mereka tempuh.
Sekalipun juga tidak pernah mengklaim bahwa membujang lebih baik dibandingkan menikah. Apa yang mereka lakoni juga sama sekali tak ada hubungannya dengan pandangan sebagian filsuf Abad Pertengahan bahwa menikah dan berketurunan adalah kriminalitas, mereka beranggapan berketurunan berarti membukakan pintu kerusakan dan malapetaka yang ada di dunia ini dengan sengaja bagi anak-anak.
Kehidupan membujang justru sebaliknya, di mata para tokoh ulama tersebut, semakin mendekatkan kecintaan mereka terhadap ilmu Allah SWT. ”Ilmu sudah menjadi ruh bagi jasad mereka, menjelma bak air bagi tanaman, dan layaknya udara bagi kehidupan,” tutur dia.
ara ulama itu, terlepas dari keutamaan dan keistimewaan menikah, beranggapan jika mereka menikah justru akan membuat mereka lemah dan semakin menjauh dari semangat menggali ilmu.
Syekh Abu Ghaddah mengutip penjelasan Imam az-Zamakhsyari atas hadis Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa, kehadiran anak memang bisa mendatangkan rasa bakhil dalam diri seorang ayah sebab tak ingin harta dia berkurang, dalam aspek kebodohan, anak bisa memalingkan seseorang dari ghirah mencari ilmu, sementara dari sisi ketakutan, anak bisa memicu kekhawatiran berlebihan dari sang ayah jika kelak anaknya terbunuh hingga tak lagi memiliki generasi penerus, dan sedangkan dari kesedihan keberadaan anak bisa mendatangkan sedih dengan memikirkan segala urusan anaknya.
Bahkan Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ menegaskan, dianjurkan bagi penuntut ilmu membujang selama hal itu memungkinkan ini agar dia tidak disibukkan dengan urusan keluarga dan mencari nafkah daripada menyempurnakan belajar.
Ibn al-Jauwzi juga berpandangan demikian, dalam kitabnya yang cukup menarik yaitu Shaid al-Khathir. Bagi Ibn al-Jauwzi, yang dibutuhkan penuntut ilmu agar berhasil dan cara terbaik menjaga hafalan, mendapat waktu pilihan, tempat dan kondisi terbagus untuk ilmu, adalah sebisa mungkin menunda menikah. Cara ini yang ditempuh Imam Ahmad bin Hanbal yang memilih tidak menikah hingga umur beliau sampai usia 40 tahun.
Syekh Abu Ghadah menukilkan sebuah kisah, bagaimana para ulama terdahulu menunda pernikahan demi mencari ilmu. Kisah Abu Bakar an-Nisaiburi itu tertuang dalam Tadzkirat al-Huffadz.
Imam an-Nisaiburi pernah bertutur,”Tahukah kamu siapa yang mampu tidak tidur malam selama 40 tahun (untuk ibadah), makan hanya lima biji kurma, dan shalat Zhuhur menggunakan wudhu shalat Isya’? Orang itu adalah saya. Ini semua berlaku sebelum saya mengenal istri saya Umm Abdurrahman, lalu apa yang aku katakan kedapa mereka yang memang menghendaki saya menikah? Saya hanya ingin kebaikan,” tutur tokoh yang dikenal dengan kepakarannya di bidang hukum Islam tersebut.
Tak bisa dimungkiri memang bagaimanapun tanggungjawab pernikahan sangat besar, mencakup urusan nafkah, keluarga, dan lain sebagiannya yang mau atau tidak, sangat menyita pemikiran seseorang. Dengan tetap tidak menafikan kebaikan pernikahan, inilah alasan mengapa mereka memilih tetap membujang.