Rabu 17 Oct 2018 18:53 WIB

RUU Pesantren Dinilai Masih Belum Mengakomodir Pesantren

RUU Pesantren masih perlu direvisi dan pemerintah yang akan merevisinya.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Andi Nur Aminah
Wakil Rektor I Universitas Darussalam Gontor, Hamid Fahmy Zarkasyi
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Wakil Rektor I Universitas Darussalam Gontor, Hamid Fahmy Zarkasyi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan telah disetujui menjadi RUU usul inisiatif DPR RI. Wakil Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Hamid Fahmy Zarkasyi berpandangan, draf RUU pesantren masih perlu direvisi sebab belum mengakomodir pesantren tradisional dan modern.

Hamid menerangkan, Peraturan Menteri Agama (Permen) tentang Pondok Pesantren sudah mengakomodir pesantren tradisional dan modern. Maka RUU pesantren juga harus mengakui pesantren tradisional dan moderan menjadi bagian dari subsistem pendidikan nasional.

Baca Juga

Permen tentang pesantren memperbolehkan pesantren untuk menyelenggarakan ujian sendiri. Hasil ujiannya akan diakui oleh pemerintah karena dianggap setara dengan sekolah-sekolah negeri. "Pesantren-pesantren tradisional juga mengadakan ujian sendiri dengan beberapa mata pelajarannya sendiri, setelah itu (santri) mendapatkan ijazah, pesantren modern juga begitu," kata Hamid kepada Republika.co.id, Rabu (17/10).

Ia menjelaskan, berdasarkan Permen tersebut, pesantren yang mempunyai sistem muallimin harus diakreditasi oleh Kementerian Agama. Pesantren yang diakreditasi disebut Pesantren Mu'adalah.

Ia menambahkan, santri dari pesantren yang sudah terakreditasi boleh memasuki perguruan tinggi di seluruh Indonesia tanpa harus ikut ujian negara. Namun, terkait dengan semua hal ini belum diakomodir oleh RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. "Jadi orang-orang DPR mengubah konsep yang sudah diajukan oleh pesantren, jadi RUU ini tidak mengakomodir pondok pesantren tradisional dan modern," ujarnya.

Hamid juga menegaskan, sejak awal pesantren menolak ujian nasional karena pesantren di Indonesia mempunyai ciri khas sendiri. Kalau pesantren harus menyelenggarakan ujian negara, maka standarnya apa? Kalau standar pesantren diukur oleh Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, tentu alat ukurnya tidak tepat.

Pendidikan di pesantren berlangsung selama 24 jam dengan sistem penanaman nilai dan disiplin. Para santri juga belajar Bahasa Arab dan lain-lain. Semua itu dinilai di pondok pesantren. Jadi standar apa yang akan digunakan pemerintah kalau pesantren harus ujian negara. "Semua pondok pesantren sudah sepakat dan berkumpul berkali-kali, sepakat untuk tidak ikut ujian negara," ujarnya.

Dia menyampaikan, di negara maju juga sudah tidak ada ujian negara. Tapi kalau sekolah atau pesantren harus diakreditasi memang sudah semestinya sebab universitas saja diakreditasi.

Hamid kembali menegaskan, RUU pesantren masih perlu direvisi dan pemerintah yang akan merevisinya. Kementrian Agama nanti akan mengumpulkan pesantren tradisional dan modern. Dalam membahas RUU pesantren ke depannya harus lebih melibatkan pesantren.

Ia mengatakan, pesantren merupakan aset bangsa. Pesantren berkembang dengan sendirinya meski tidak ada bantuan dari pemerintah. Pemerintah hanya diminta pengakuannya saja terhadap pesantren. "Garda depan umat Islam sebenarnya pesantren, kita hanya minta pengakuan dari pemerintah," tegasnya.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement