Selasa 06 Nov 2018 04:50 WIB

Iran tak akan Tunduk

Sanksi AS ini salah satu bagian perang psikologis terhadap Iran.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolanda
Kilang minyak Iran.
Foto: Iranian Presidency Office via AP
Kilang minyak Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan negaranya akan tetap menjual minyak ke negara-negara importir dan melanggar sanksi yang dikenakan Amerika Serikat (AS). Sanksi ini mulai berlaku pada 5 November 2018. Alasannya untuk menekan Iran menghentikan program nuklir dan peluru kendali mereka. 

Pemerintahan Presiden AS Donald Trump memberlakukan kembali sanksi yang sebelumnya dicabut setelah adanya kesepakatan nuklir Iran tahun 2015. Kesepakatan yang ditanda tangani Presiden AS saat itu Barack Obama. 

"Amerika ingin memotong penjualan minyak Iran sampai nol tapi kami akan tetap menjual minyak kami, mematahkan sanksi itu," kata Rouhani kepada ekonom-ekonom di negaranya, Senin (5/11). 

Pada Jumat (2/11), AS mengatakan delapan negara importir masih diizinkan untuk membeli minyak Iran. Meski sanksi tersebut sudah mulai berlaku pada hari Senin (29/10). Cina, India, Korea Selatan, Jepang dan Turki merupakan beberapa negara importir terbesar Iran. 

Mereka termasuk dari delapan negara yang masih diizinkan untuk membeli minyak dari Iran. Hal ini dilakukan agar harga minyak tetap stabil. Trump ingin terus menekan Iran untuk menghentikan program pengembangan nuklir dan rudal mereka. Ia juga ingin mendorong Iran dari perang Yaman, Suriah, Lebanon dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. 

Baca juga, Pejabat Iran ke Trump: Nasib Anda akan Seperti Saddam

"Hari ini musuh (AS) mengincar ekonomi kami, sasaran utama dari sanksi itu adalah rakyat kami," kata Rouhani. 

Pada bulan Mei lalu Trump menarik AS dari kesepakatan nuklir tahun 2015. Kesepakatan ini ditandatangani oleh enam kekuatan dunia lainnya. Kesepatan tersebut mencabut sanksi yang ditujukan ke ekonomi internasional Iran karena mereka telah menahan program nuklir di bawah pengawasan PBB. 

Pada Agustus lalu AS mulai memberlakukan beberapa sanksi terhadap Iran. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan sanksi tahun ini akan menjadi hukuman terberat yang pernah Iran terima. 

Namun, pemimpin-pemimpin Iran yakin mereka dapat membalas AS. "Ini perang ekonomi dengan Iran, tapi Amerika harus belajar ini bukan bahasa yang dapat dipaksakan ke Iran, kami bersiap untuk melawan setiap tekanan," kata Rouhani. 

Kabarnya Uni Eropa tengah menyiapkan sebuah mekanisme yang dapat memfasilitasi negara-negara importir minyak Iran melakukan pembayaran. Tapi mekanisme tersebut tidak dapat dilakukan sebelum awal tahun depan. Tidak ada negara yang mau menjadi tuan rumah entitas mekanisme tersebut, hal inilah yang membuat mekanisme tersebut belum bisa berjalan. 

"Kami terus melakukan kontak reguler dengan penandatangan kesepakatan nuklir lainnya, pengaturan mekanisme untuk melanjutkan perdagangan dengan Uni Eropa akan memakan waktu," kata jurubicara Menteri Luar Negeri Iran, Bahram Qasemi. 

Baca juga, Korea Selatan Minta AS Longgarkan Sanksi Iran

Dia juga mengatakan sanksi AS ini salah satu bagian perang psikologis mereka terhadap Iran. Sementara itu Donald Trump yakin Iran mulai kesulitan dengan sanksi yang ia terapkan kepada mereka. 

"Sanksi kepada Iran sangat kuat, sanksi terkuat yang pernah kami berikan, dan kami akan lihat apa yang akan terjadi dengan Iran, tapi mereka tidak dalam keadaan baik, bisa saya katakan kepada Anda," kata Trump, dalam kampanye yang ia lakukan sebelum pemilu jeda AS, seperti dilansir Aljazirah.

Beberapa pihak yang ikut menandatangani kesepakatan Iran 2015, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Cina dan Rusia mengatakan mereka tidak akan keluar dari kesepakatan tersebut. Iran juga mengatakan akan segera membalas apa yang dilakukan AS terhadap mereka. 

Berdasarkan data yang dirilis Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), pada 2017 ekspor minyak Iran mencapai 52,728 miliar dolar AS. Pada tahun tersebut mereka mengekspor 2.125.000 barel per hari. Di tahun yang sama mereka juga mengekspor 12,9 miliar kubik gas alam. Tapi angka-angka tersebut kian menurun. 

Di India, minyak Iran turun dari 690 ribu barel per hari menjadi 400 ribu barel per hari. Sektor energi menyumbang 80 persen pendapat Iran. Maka menurut Energy Information Administration AS, gangguan ini bisa berdampak serius bagi mereka yang berada dibawah garis kemiskinan. 

Hancurnya perekonomian Iran ini menyebabkan semakin banyaknya protes antipemerintah. The Washington Post melaporkan hampir 5.000 orang ditahan dan 25 terbunuh saat memprotes kondisi ekonomi.   

Amerika mengatakan sanksi tersebut tidak bermaksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah di Iran. Tapi mereka tidak membantah ingin Iran mengubah kebijakan mereka secara radikal termasuk kebijakan mendukung pasukan di pemberontak di Timur Tengah dan kebijakan pengembangan rudal kendali jarak jauh. 

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement