Rabu 13 Jun 2012 19:45 WIB

Akhir 'Peradaban' Tiki Taka?

Cesc Fabregas (dua kiri), gelandang timnas Spanyol, melakukan selebrasi bersama rekan setim usai menjebol jala Italia di laga Grup C Piala Eropa 2012 di Gdansk, Polandia, Ahad (10/6).
Foto: Reuters/Tony Gentile
Cesc Fabregas (dua kiri), gelandang timnas Spanyol, melakukan selebrasi bersama rekan setim usai menjebol jala Italia di laga Grup C Piala Eropa 2012 di Gdansk, Polandia, Ahad (10/6).

Oleh: Abdullah Sammy

Wartawan Sepakbola Republika

Puncak dari sebuah peradaban adalah fase awal menuju kehancuran peradaban itu sendiri. Bagaimana Jerman dan Jepang hancur usai militernya mencapai puncak kejayaan di Perang Dunia II, jadi salah satu rujukan pandangan tersebut. Pun hancurnya rezim pemerintahan di dunia Arab yang perlahan tapi pasti bertumbangan setelah jadi raja-raja dunia di awal abad 21.

Semua hal itu jadi bukti bahwa perubahan adalah sebuah kepastian. Dan tanpa melakukan perubahan, sebuah peradaban paling agung sekalipun akan hancur tergilas oleh perubahan itu sendiri.

Allah pun berfirman:“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya.” (Ar-Ra'du : 11)

Ayat tersebut jadi acuan bahwa keberuntungan sekalipun bisa diciptakan ketika seseorang melakukan usaha perubahan. Klub Chelsea membuktikannya di lapangan sepak bola Liga Champions musim ini. Dengan keberanian untuk meninggalkan gaya permainan menyerang, Chelsea memutus penantian juara Eropa selama 107 tahun.

Tiki Taka

Kemenangan Chelsea pun jadi peringatan pada Barcelona dan Spanyol, pionir gaya tiki-taka, bahwa lonceng kehancuran itu semakin dekat. Setelah Barcelona tiga musim tanpa lawan dan Spanyol yang tanpa tertandingi jadi Juara Eropa 2008, juara Dunia 2010, dan juara Piala Eropa junior 2011, fase menuju keruntuhan peradaban tiki taka sangat mungkin terjadi.

Pasalnya, anti-tesis dari tiki taka mulai bermunculan. Kesuksesan gaya bertahan Chelsea 2011 dan Inter Milan 2010 jadi rujukan. Lonceng peringatan bagi tiki taka pun semakin keras berbunyi di kota Gdansk, Polandia.

Timnas Spanyol dengan tiki-takanya nyaris tidak berdaya ketika meladeni gaya revolusioner Italia yang bermain menyerang di partai pembuka Grup C Piala Eropa 2012. Padahal, Italia selama ini dikenal sebagai moyangnya catenacio (gaya permainan bertahan).

Di laga melawan Spanyol, pelatih Italia mencontoh tesis permainan yang diciptakan Antonio Conte, pelatih Juventus. Gaya bermain 3-5-2 yang membuat Juventus juara Serie A tanpa terkalahkan, terbukti cocok bagi Azzurri. Hasilnya, Italia tampil atraktif dan mampu menandingi tiki taka Spanyol di lini tengah.

Spanyol Waspada

Banyak yang beranggapan, Spanyol di laga melawan Italia telah meninggalkan pakem 4-2-3-1 yang sukses membawa tiki taka menjadi juara dunia. Namun jika menilik lebih jauh peran Cesc Fabregas di laga melawan Italia, sejatinya tidak ada perubahan gaya singnifikan Spanyol 2012 dibanding di Afrika Selatan 2010

Fabregas tidak ubahnya memainkan peran David Villa yang mampu menjadi pemain paling akhir untuk mengalirkan tiki taka hingga ke mulut gawang lawan. Dengan gaya yang relatif sama sepanjang dua tahun terakhir, tiki taka terbukti kualahan menghadapi revolusi menyerang Azzurri.   

Dengan kenyataan itu, Spanyol patut waspada akan peluangnya di Piala Eropa 2012 ini. Karena sudah jadi kepastian bahwa 15 peserta lain telah mempelajari apa anti-tesis tiki taka, layaknya yang dilakukan Italia di laga pertama.   

Spanyol bisa berkaca pada keruntuhan sejumlah gaya permainan sepak bola akibat adanya revolusi taktik lawan. Catenacio contohnya tergilas di akhir 80-an oleh reinkarnasi total football Belanda. Pun halnya Total Football yang tidak berdaya ketika membentur fisik prima Skandinavia Denmark. Atau “staying power” Jerman yang tumbang oleh era trequartista Zidane.  

Akankah tiki-taka mengikuti jejak serupa di Piala Eropa kali ini?

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement