REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah panel penasihat HAM yang berada di bawah FIFA mendesak badan sepak bola dunia itu memberikan tenggat waktu kepada Iran untuk mengizinkan kaum wanita masuk stadion. Seperti dikutip dari Reuters, Selasa (27/11), laporan yang disampaikan panel itu menegaskan bahwa larangan bagi wanita untuk menyaksikan sepak bola di stadion merupakan pelanggaran terhadap kode etik FIFA terkait diskriminasi gender.
Kaum wanita dan remaja Iran tidak dibolehkan menyaksikan event olahraga cabang apa pun selama 39 tahun sejak Revolusi Islam. Mereka juga tidak mendapat akses untuk menyaksikan pertandingan klub papan atas sejak 1981 silam.
Namun bulan ini, kantor berita Iran melaporkan bahwa sejumlah tertentu kaum wanita sudah diizinkan menyaksikan pertandingan final Liga Champions Asia antara tuan rumah Persepolis menghadapi wakil Jepang Kashima Antlers di Stadion Azhadi, Tehran.
Anggota panel yang terdiri atas delapan ahli independen dari Amerika Serikat (AS), serikat dagang, dan sponsor FIFA, mencatat bahwa kaum wanita bisa menyaksikan pertandingan melalui layar lebar di stadion yang sama seperti Piala Dunia lalu. Kondisi tersebut digambarkan sebagai perkembangan positif. Namun, ditambahkan bahwa keputusan ad hoc tersebut jelas tidak sama dengan mengakhiri larangan secara formal.
Menurut panel, FIFA harus bersikap tegas soal tenggat waktu agar Iran bisa menjalankan aturan sesuai dengan HAM seperti yang digariskan oleh FIFA. Panel juga menuntut agar FIFA bisa lebih tegas mengenai kemungkinan sanksi jika Iran tidak mematuhi tenggat waktu yang telah diberikan.
Statuta FIFA menyatakan bahwa sikap diskriminasi bisa mendapat hukuman berupa skorsing atau dikeluarkan sebagai anggota. Meski aturan disiplin bisa saja memberikan sanksi lebih ringan, seperti denda atau pertandingan tanpa penonton.
Panel juga meminta pihak FIFA memberikan penjelasan lebih detail seputar keputusan yang diambil oleh komite etik yang telah memberikan sanksi kepada puluhan pengurus sepak bola dalam beberapa tahun terakhir. Termasuk mantan Presiden FIFA Sepp Blatter.
Sampai saat ini, menurut panel tersebut, FIFA hanya mempublikasikan beberapa kalimat saja terkait klausul kode etik, tapi tidak memberikan penjelasan lebih rinci mengenai sebuah kasus. "Kondisi yang tidak transparan ini bisa membuat publik tak mengerti alasan sebenarnya dalam memberikan sanksi, dan keputusan serta sanksi tidak bisa menjadi alat perbandingan," kata panel menjelaskan.