REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Kementerian Agama (Kemenag) RI meluncurkan aplikasi ‘Sistem Peringatan dan Respons Dini Konflik Keagamaan’ sebagai instrumen optimalisasi peran Kemenag menjaga kerukunan antar umat. Aplikasi tersebut bakal digunakan oleh seluruh penyuluh keagamaan Kemenag yang bertugas membina masyarakat dari segi kerohanian.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Nurudin mengatakan, aplikasi tersebut akan membuat informasi dari penyuluh keagamaan jadi lebih terstruktur. “Ini bukan hanya alat untuk menginput informasi saja, tapi juga untuk menentukan respons yang akan diambil Kemenag, jika ada suatu potensi konflik di suatu daerah,” kata Nurudin saat ditemui Republika.co.id, di Bekasi, Selasa (11/12).
Nurudin mengakui, selama ini, berbagai isu antar maupun intra agama yang menyebar di tengah masyarakat, mengalir begitu saja tanpa ada suatu respons ataupun solusi yang cepat dari pemerintah. Hal itu, kata dia, berbahaya dan bisa menganggu kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Pada praktiknya nanti, Nurudin menjelaskan, aplikasi ‘Sistem Peringatan dan Respons Dini Konflik Keagamaan’ akan menjadi pusat sistem informasi yang dilaporkan oleh 45 ribu keagamaan. Pada tahap awal ini, aplikasi akan diterapkan untuk para penyuluh yang berada di wilayah Jabodetabek.
Selanjutnya, di 2019 aplikasi mulai diterapkan untuk penyuluh di seluruh Indonesia. “Jadi, penyuluh daerah masing-masing yang menemukan suatu masalah keagamaan mereka bisa langsung melapor lewat aplikasi,” katanya.
Dikatakannya, setelah laporan dari penyuluh masuk, selanjutnya diproses oleh pemerintah pusat. Setelah notifikasi laporan diverifikasi dan diketahui detail masalah yang terjadi, maka pemerintah pusat akan merespons melalui kantor-kantor perwakilan di daerah yang bersangkutan.
Dalam aplikasi tersebut pun dibuat kategorisasi konflik keagamaan. Ada tiga kategori, yakni awas, waspada, dan gawat. Status awas merupakan tahap paling pertama yang mengindikasikan akan terjadi sebuah konflik. Waspada, merupakan tahap dimana mulai bermunculan protes dari suatu kelompok masyarakat. Sementara gawat, merupakan tahap akhir yang bisa menimbulkan suatu ancaman serius.
Dia mencontohkan, isu terkait pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid sempat mencuat di Garut, Jawa Barat merupakan konflik keagamaan yang sudah gawat. “Itu gawat karena sebagian orang sudah menganggap hal itu sebagai penodaan agama. Gawat di sini bukan insidennya, tapi kejadian yang harus benar-benar segera diatasi,” tutur dia.
Salah satu penyuluh keagamaan di Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Rafiudin (38 tahun) mengaku, selama ini, dirinya merasa sulit ketika ingin melaporkan suatu temuan adanya masalah keagamaan di tengah masyarakat.
Dia menyatakan, selalu melaporkannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Namun, informasi yang dia sampaikan tidak mendapatkan respons yang terukur bahkan sering tidak diteruskan.
Alhasil, manajemen konflik yang dimiliki belum maksimal. “Selama ini pengolahan informasi di KUA itu memang belum terstruktur. Manajemen konflik belum terkoordinir yang baik,” kata dia.