REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada tahun ini diperkirakan masih akan dibayangi oleh sentimen negatif dari global. Diketahui sepanjang tahun 2018 IHSG terkoreksi 2,54 persen dan ditutup positif ke posisi 6.194,49 di akhir tahun.
Berikut beberapa sentimen global yang diperkirakan akan mempengaruhi kinerja IHSG di 2019:
1. Adanya potensi berlanjutnya perang dagang seiring sikap kedua petinggi negara, baik AS maupun Cina yang belum terlihat melunak. Sebelumnya pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping hanya menghasilkan penundaan untuk pengenaan tarif impor bagi keduanya hingga Maret. Hal ini menandakan masih adanya potensi pengenaan tarif impor lebih lanjut dan akan mempengaruhi perkembangan ekonomi global. Persepsi akan kekhawatiran melambatnya ekonomi global akan mempengaruhi secara psikologis pelaku pasar yang pada akhirnya membuat aksi jual kerap terjadi.
2. Rencana kebijakan The Fed untuk kembali menaikan suku bunganya. Pada 2018, The Fed telah menaikkan suku bunga sebanyak empat kali, sedangkan tahun ini Fed Fund Rate diperkirakan akan dinaikkan sebanyak dua sampai tiga kali.
3. Adanya silang pendapat antara Presiden Trump yang didukung oleh Kubu Partai Republik dengan Partai Demokrat di dalam Kongres juga kemungkinan akan terjadi. Belum lama ini, Presiden Trump telah mengancam akan melakukan government shutdown jika keinginannya untuk mendirikan tembok pembatas antara AS dan Meksiko tidak dituruti.
Baca juga, IHSG Hadapi Berbagai Sentimen Negatif di 2018
"Bukan tidak mungkin, sikap keras Presiden Trump ini akan terjadi pada pengambilan kebijakan-kebijakan lainnya yang pada akhirnya membuat pelaku pasar bereaksi negatif," ujar Senior Advisor CSA Research Institute Reza Priyambada, dikutip dari hasil risetnya, Selasa (1/1).
4. Kondisi yang ada di Uni Eropa seperti Brexit, penyelesaian anggaran berbagai negara Uni Eropa yang bermasalah, pertumbuhan ekonomi dan industri, hingga langkah European Central Bank (ECB) yang akan mulai mengurangi program stimulusnya. Berbagai kondisi tersebut dapat mempengaruhi laju bursa saham Eropa dan juga pergerakan nilai mata uangnya. Bila Euro (EUR) melemah akan dimanfaatkan USD untuk terapresiasi sehingga dapat berimbas negatif pada pergerakan mata uang Asia, termasuk rupiah.
5. Perkembangan ekonomi Cina sering menjadi perhatian pelaku pasar mengingat Cina tidak hanya menjadi bagian dari negara-negara besar dan berpengaruh, juga merupakan mitra dagang utama Indonesia yang memiliki nilai perdagangan terbesar di antara negara-negara lainnya. Oleh karena itu, bila sesuatu hal negatif terjadi pada ekonomi Tiongkok maka reaksi pelaku pasar cenderung negatif.