Ahad 13 Jan 2019 20:33 WIB

Trump: Tidak Ada Status Darurat untuk Akhiri Shutdown

Shutdown kali ini merupakan yang terlama dalam sejarah Amerika.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Indira Rezkisari
The Capitol di Washington, Amerika Serikat. Pada Sabtu (12/1), shutdown beberapa instansi pemerintahan memasuki hari ke-22.
Foto: AP
The Capitol di Washington, Amerika Serikat. Pada Sabtu (12/1), shutdown beberapa instansi pemerintahan memasuki hari ke-22.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden AS Donald Trump mengatakan dia belum akan mengumumkan status darurat untuk mengakhiri shutdown atau penutupan sebagian pemerintahan AS, yang telah berlangsung hingga hari ke-23 pada Ahad (13/1). Shutdown terjadi setelah Trump bersikeras untuk meminta dana sebesar 5,7 miliar dolar AS untuk membangun tembok perbatasan dengan Meksiko yang ditentang Partai Demokrat.

Saat ditanya oleh Fox News mengapa dia tidak segera mengumumkan status darurat nasional untuk mengamankan dana tanpa persetujuan Kongres, Trump mengatakan dia ingin memberi lebih banyak waktu kepada Partai Demokrat untuk mencapai kesepakatan. "Saya ingin memberi mereka kesempatan untuk melihat apakah mereka dapat bertindak dengan bertanggung jawab," kata dia, dalam sebuah wawancara pada Sabtu (12/1) malam.

Shutdown pemerintahan AS kali ini telah memecahkan rekor terpanjang pada tengah malam Jumat (11/1) lalu. Shutdown terpanjang sebelumnya terjadi selama 21 hari pada 1995-1996 di bawah kepemimpinan mantan presiden AS Bill Clinton.

Trump menulis serangkaian cicitan pada Sabtu (12/1) untuk mempertahankan sikapnya. Ia juga mendorong Partai Demokrat untuk kembali ke Washington guna mengakhiri apa yang disebutnya krisis kemanusiaan besar-besaran di perbatasan selatan AS.

"Demokrat bisa menghentikan shutdown dalam 15 menit!" kata Trump.

"Kami akan tutup untuk waktu yang lama kecuali Demokrat kembali dari 'liburan' mereka dan kembali bekerja. Saya di Gedung Putih siap menandatangani!" tambah dia.

Sebagian besar anggota parlemen meninggalkan Washington pada Jumat (11/1) lalu dan tidak akan kembali sebelum Senin (14/1). Hal tersebut menyisakan sedikit peluang untuk solusi kebuntuan yang ada.

Kebuntuan telah melumpuhkan AS. Dampaknya semakin terasa di seluruh negeri. Trump menolak menandatangani anggaran bagi departemen pemerintah yang tidak terkait dengan sengketa.

Akibatnya, 800 ribu karyawan federal, termasuk agen FBI, pengawas lalu lintas udara, dan staf museum, tidak menerima gaji.

Pada pertemuan di Gedung Putih Jumat (11/1) lalu, Trump mengatakan pengumuman status darurat akan menjadi jalan keluar yang mudah. Menurut dia, Kongres harus bertanggung jawab dengan menyetujui pendanaan untuk pembangunan tembok perbatasan itu.

"Jika mereka tidak dapat melakukannya ... Saya akan mengumumkan status darurat nasional. Saya memiliki hak mutlak," kata dia.

Namun, Trump mengakui langkah itu mungkin akan memicu pertempuran hukum yang berakhir di Mahkamah Agung. Para penentang mengatakan, langkah presidensial sepihak seperti itu akan menetapkan preseden berbahaya dalam kontroversi serupa.

Bagi Trump, yang mengunjungi perbatasan Texas dengan Meksiko pada Kamis (10/1) lalu, situasi perbatasan sama dengan invasi penjahat. Beberapa hari terakhir ini dia mulai menggambarkan masalah itu sebagai masalah kemanusiaan.

Beberapa penelitian menunjukkan, imigran ilegal melakukan lebih sedikit kejahatan daripada orang yang lahir di AS. Sebagian besar narkotika juga diselundupkan melalui pos pemeriksaan yang dijaga ketat, menurut Drug Enforcement Administration dalam laporan 2017.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement