Kamis 24 Jan 2019 15:46 WIB

Program Bantuan Pangan Nontunai Picu Inflasi

Program BPNT telah menyebabkan harga beras di pasaran mengalami kenaikan

Rep: Eko Widiyatno/ Red: Nidia Zuraya
Warga Keluarga Penerima Manfaat (KPM) memilih telur Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di balai Desa Morosunggingan, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Ahad (25/11/2018).
Foto: Antara/Syaiful Arif
Warga Keluarga Penerima Manfaat (KPM) memilih telur Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di balai Desa Morosunggingan, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Ahad (25/11/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang dilaksanakan pemerintah sebagai pengganti program Rastra (Beras Sejahtera) sedikit banyak menjadi pemicu terjadinya inflasi. Hal ini diakui Kepala Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto Agus Chusaini dalam kegiatan diseminasi kegiatan BI Purwokerto, Rabu (23/1) malam.

''Ya memang, program BPNT telah menyebabkan harga beras di pasaran mengalami kenaikan, sehingga menjadi salah satu penyebab faktor inflasi. Tapi saya kira tidak berpengaruh terlalu besar,'' jelasnya.

Dalam program BPNT ini, pemerintah menyalurkan bantuan uang tunai senilai Rp 120 ribu pada masing-masing keluarga miskin. Uang tunai tersebut disalurkan melalui rekening masing-masing keluarga miskin.

Namun dalam program BPNT tersebut, warga miskin penerima bantuan tidak bisa mencairkan dananya dalam bentuk uang tunai. Melainkan harus ditukarkan dalam bentuk aneka sembako yang ditentukan oleh pihak bank.

Seperti di Kabupaten Banyumas, penerima BPNT mencairkan bantuan tersebut dalam bentuk beras, telur minyak goreng. ''Setiap akhir bulan, saya menggesek kartu BPNT ke warung yang ditunjuk. Dengan menggesek kartu ini, saya mendapatkan beras 8 kg, telur ayam ras 2 kg, dan minyak goreng 1 liter,'' jelas Yatmi (46), warga Desa Sawangan Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas.

Yang menjadi masalah, beras yang disalurkan melalui program BPNT ini bukan beras yang diambil dari gudang Bulog. Namun oleh pihak penyelenggara BPNT di Kabupaten Banyumas, beras diambil dari stok beras yang ada di pasaran umum.

Agus Chusaieni selaku Wakil Ketua Tim Pengendali Inflasi Daerah mengakui, pembelian beras langsung di pasaran ini memang menyebabkan permintaan beras meningkat, yang efeknya memicu kenaikan harga beras.

''Saya juga sempat mempertanyakan hal ini pada penyelenggara program BPNT di Banyumas. Tapi alasannya, dalam program BPNT memang tidak ada kewajiban bagi penyelenggara program untuk membeli beras dari Bulog,'' katanya.

Untuk itu, dia meminta agar penyaluran BPNT tidak dilaksanakan serentak. Melainkan secara bergilir, sehingga tidak terjadi pembelian beras sekaligus dalam jumlah besar. ''Paling tidak, dengan cara pembelian bertahap seperti ini tidak langsung ada penyerapan beras di pasaran yang dapat memicu kenaikan harga,'' katanya.

Lepas dari masalah itu, Agus menyebutkan, inflasi di wilayah eks Karesidenan Banyumas relatif masih terkendali. Seperti dalam pengukuran inflasi yang dilakukan BI, pada tahun 2018 inflasi di Kota Purwokerto tercatat 2,98 persen (yoy) dan di Kota Cilacap 3,21 persen (yoy). Angka ini masih jauh dari target inflasi sebesar 3,5 plus minus 1 persen.

Sedangkan khusus untuk inflasi Januari 2019, Agus memperkirakan akan di bawah laju inflasi Januari 2018 yang mencapai 1,29 persen (month of month). Penyebabnya, antara lain karena adanya penurunan harga BBM pada Desember 2018 lalu.

''Sedangkan pemicu inflasinya, antara lain karena kenaikan harga volatile food. Antara lain, ya kemungkinan kenaikan harga beras,'' katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement