REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertanian Dwi Andreas meragukan rencana Bulog yang ingin melakukan ekspor beras karena hal tersebut merupakan ide yang tidak rasional dalam kondisi saat ini. Dwi Andreas mengatakan upaya itu tidak akan menguntungkan apalagi harga beras Indonesia lebih mahal dari pasar global.
Saat ini, menurut dia, harga beras di tingkat petani yang berada pada kisaran Rp 10.000 per kilogram sudah lebih mahal dari rata-rata harga beras dunia sebesar Rp 5.600 per kilogram. "Boleh saja ekspor, tapi rugi," katanya.
Oleh karena itu, Guru Besar Institut Pertanian (IPB) Bogor ini mengatakan ekspor beras baru mungkin dilakukan apabila beras yang diekspor merupakan beras khusus seperti beras organik.
Baca juga, Bulog Targetkan Ekspor Beras ke Sejumlah Negara Tetangga
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Utama Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo Adi mengatakan harga beras di Indonesia masih belum bisa menyaingi harga beras yang ditawarkan Thailand maupun Vietnam. Padahal, harga menjadi pertimbangan penting dalam proses jual beli komoditas, selain kualitas barang.
Menurut dia, upaya untuk mengekspor beras harus dilakukan melalui pembenahan infrastruktur dari sisi produksi hingga setelah masa panen usai atau ada industrialisasi dalam bidang pertanian. "Baiknya dibuat corporate farming dulu, jadi ada lahan khusus untuk ekspor ini. Produktivitas nanti bisa meningkat, misalnya sekarang 5-6 ton per hektare jadi 7-8 ton per hektare," katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution ikut meragukan rencana ekspor beras karena kegiatan ekspor harus dilakukan secara berkelanjutan. Darmin justru mengharapkan adanya upaya untuk mengamankan pasokan dalam negeri agar stabilitas harga beras tetap terjaga ketika tidak sedang memasuki masa panen.