Selasa 29 Jan 2019 16:05 WIB

BI Perketat Aturan ULN Perbankan, Ini Tanggapan Bank

Aturan baru untuk mencegah risiko yang timbul dari produk industri keuangan.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolanda
Utang/ilustrasi
Foto: johndillon.ie
Utang/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memperketat aturan Utang Luar Negeri (ULN) perbankan dengan menerbitkan aturan terkait penarikan ULN dan kewajiban berdenominasi valuta asing lainnya oleh perbankan. Aturan baru ini juga mengatur soal Transaksi Partisipasi Risiko (TPR).

Direktur Bank Central Asia (BCA) Santoso Liem mengaku tidak bisa menanggapi kebijakan BI tersebut. Pasalnya, selama ini perseroan belum ada rencana menerbitkan ULN.

"Belum ada rencana terbitkan ULN. Hal itu mengingat, corporate action yang kita lakukan menggunakan hasil kinerja bisnis BCA," ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa, (29/1). 

Sementara itu Direktur Keuangan Bank Mandiri Panji Irawan menyatakan, perseroan tengah menjajaki penerbitan global MTN maupun global bonds. "Namun itu semua tergantung placement (penempatan), kalau kita sudah ada jodoh placement-nya, baru kita akan masuk," jelasnya.

Sebaliknya, kata dia, bila belum ada penempatannya maka akan menjadi biaya atau cost. "Jadi prinsipnya, begitu placement siap. Maka berpasangan antara beban bunga dari bond bunganya," kata Panji.

Hal itu menurutnya, tergantung pula oleh kondisi likuiditas. "Pokoknya kalau global bond, sepanjang dibeli nonbank maka bisa diatur sebagai DPK (Dana Pihak Ketiga). Apabila itu termasuk, masalah LFR (Loan to Funding Ratio) dan LDR (Loan to Depocit Ratio) bisa teratasi tanpa rebutan DPK sehingga suku bunga juga terjaga," tuturnya.

Sebagai informasi, aturan baru yang diterbitkan BI terkait ULN perbankan tersebut yakni Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/1/PBI/2019 Tentang Utang Luar Negeri (ULN) Bank Dan Kewajiban Bank Lainnya Dalam Valuta Asing yang akan resmi berlaku pada 1 Maret 2019. Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Riza Tyas mengatakan pembaruan peraturan ini diperlukan untuk mengawasi dan mencegah risiko yang timbul dari produk dan inovasi terbaru dari industri keuangan, seperti transaksi partisipasi risiko (TPR).

"Transaksi partisipasi risiko adalah transaksi pengalihan risiko atas individual kredit atau fasilitas lainnya yang dilakukan berdasarkan perjanjian induk," kata Riza di Jakarta, Kamis (24/1).

TPR merupakan bagian dari kewajiban valas perbankan di dalam negeri terhadap afiliasi atau mitranya di luar negeri. Di Indonesia, TPR baru mulai dilakukan oleh perbankan sejak akhir 2016.

Riza mengatakan BI ingin mengatur TPR sejak dini meskipun nilai transkasinya masih kecil karena kegiatan TPR ini melibatkan aliran dana dari luar negeri yang masuk ke pasar keuangan di Indonesia. Hal ini untuk memperkuat upaya mitigasi risiko dan kehati-hatian di pasar keuangan domestik.

"TPR melibatkan dana dari bank di luar negeri atau afiliasinya ke bank di dalam negeri sehingga ada potensi resiko eksternal bagi Indonesia," ujar dia.

TPR di Indonesia biasanya dilakukan bank untuk membiayai kredit korporasi. "Nominalnya memang masih kecil tapi perlu ada pengawasan sejak awal," kata Riza.

Adapun pokok pengaturan lainnya yaitu berupa penyempurnaan definisi dan cakupan ULN dan kewajiban bank lainnya dalam valas. Cakupan ULN bank meliputi utang bank kepada bukan penduduk dalam valas atau rupiah, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement