REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sepanjang 2018, Toyota mengirimkan kendaraan utuh atau completely build up (CBU) ke pasar global hingga 206.600 unit sepanjang 2018. Total tersebut naik sebesar empat persen dari capaian tahun 2017 yang berjumlah 199.600 unit.
Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono mengatakan, performa ekspor yang positif di tengah situasi perang dagang dan proteksi di beberapa negara ini tidak terlepas dari upaya untuk selalu kompetitif serta sinergi. "Selain itu, dukungan yang kuat dari pemerintah, sehingga kinerja ekspor Toyota dapat terjaga walaupun kondisi makro ekonomi dunia cenderung kurang menguntungkan," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika, Jumat (1/2).
Model SUV Fortuner masih menjadi kontributor terbesar ekspor CBU Toyota dengan catatan angka sebesar 52.600 atau sekitar 25 persen dari total ekspor CBU Toyota. Posisi kedua ditempati oleh model Avanza dengan total 35.300 (17 persen).
Sementara itu, Rush menjadi kontributor terbesar ketiga terhadap performa ekspor CBU Toyota dengan jumlah pengapalan sebanyak 34.100 unit (17 persen). Di tempat keempat diduduki Agya dengan volume ekspor 31.000 (15 persen).
Vios berada di tempat kelima dengan kontribusi sebanyak 23.100 unit (11 persen). Selain lima besar kontributor ini, model CBU ekspor bermerek Toyota lainnya adalah Kijang Innova, Yaris, Sienta, Town Ace/Lite Ace dengan jumlah volume 30.500 unit.
Selain dalam bentuk CBU, Warih menambahkan, TMMIN juga berhasil mengekspor kendaraan dalam bentuk terurai atau Completely Knock-Down (CKD) sebanyak 42.700 unit pada periode yang sama. Tercatat juga, tipe TR dan NR sebanyak 146.000 unit serta komponen sebanyak 107,6 juta buah.
Warih menjelaskan, beberapa capaian positif kinerja ekspor juga telah ditorehkan. Di antaranya, ekspansi pasar model SUV Toyota Rush yang semula hanya dikapalkan ke Malaysia, kini menjadi ke lebih dari 50 negara di kawasan Asia, Timur Tengah, Amerika Latin.
"Selanjutnya, Toyota menandai tercapainya 1 juta volume kumulatif ekspor CBU bermerek Toyota di bulan September," katanya.
Catatan positif tersebut memberikan optimisme tersendiri bagi Toyota dalam mempertahankan performa ekspor di tahun 2019. Adanya ekspansi ekspor beberapa model CBU bermerek Toyota yang dilakukan pada tahun 2018 membuat Toyota tetap fokus pada kestabilan performa ekspor di negara tujuan baru.
Warih memproyeksikan, kinerja ekspor CBU bermerek Toyota naik lebih dari lima persen. Studi-studi untuk mempelajari destinasi ekspor baru termasuk ke Australia masih terus dilakukan.
"Di saat yang sama kami juga berupaya tetap fokus dalam hal menjaga kestabilan performa ekspor di negara baru tujuan ekspasi tahun 2018 yang lalu seperti Afrika dan Amerika Latin," tuturnya.
Semua kendaraan CBU yang diekspor ke berbagai negara itu merupakan produksi lokal dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) mencapai 75 persen sampai 94 persen. Sampai saat ini, setidaknya sudah lebih dari 80 negara di kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin, Karibia dan Timur Tengah yang menjadi tujuan ekspor Toyota.
Direktur Administrasi, Korporasi, dan Hubungan Eksternal TMMIN Bob Azam menjelaskan, kondisi ekonomi makro dunia merupakan tantangan tersendiri bagi kinerja ekspor otomotif dalam negeri. Menyikapi hal tersebut, ia memandang bahwa daya saing industri menjadi kunci untuk bisa bertahan bahkan memenangkan persaingan.
Menurut Bob, tidak ada jalan lagi selain meningkatkan competitiveness industri dalam negeri dari hulu hingga ke hilir untuk bisa mempertahankan posisi Indonesia sebagai salah satu basis produksi dan ekspor di kawasan Asia-Pasifik. "Peningkatan kandungan lokal murni (true localization) produk yang dimulai dari penggunaan sumber material dalam negeri, menjadi upaya yang fundamental untuk menjaga daya saing," ujarnya.
Di saat bersamaan, Bob menjelaskan, kegiatan tersebut dapat membantu menekan impor raw material. Upaya ini dapat memberi sumbangan terhadap kestabilan neraca perdagangan terutama di sektor komponen otomotif yang saat ini masih menjadi perhatian pemerintah.
Bob menambahkan, neraca perdagangan di sektor hilir yang positif masih menyisakan pekerjaan rumah di dunia industri otomotif nasional. Sebab, pada kenyataanya, neraca perdagangan di sektor hulu rantai suplai otomotif, terutama di level pemasok komponen lapis kedua dan ketiga masih negatif.
Salah satu penyebab permasalahan itu adalah masih banyaknya bahan mentah dan bahan baku industri manufaktur otomotif yang bersumber dari material impor. Dengan banyaknya material impor, menjadikan TKDN murni tidak setinggi yang harapkan. Isu ini kebanyakan menjadi beban tanggung jawab industri kecil yang berperan sebagai supplier di lapis kedua atau ketiga.