REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong berbagai perbankan untuk juga mulai memprioritaskan pembiayaan perikanan. Hal itu dilakukan dalam rangka mengembangkan sektor kelautan dan perikanan di Tanah Air.
"OJK mendukung di bidang pembiayaannya di mana kita mendorong agar bank-bank atau industri keuangan lainnya juga mulai memprioritaskan pembiayaan di sektor perikanan dengan berbagai kebijakan, dan arahan yang terukur dengan tetap memperhatikan kehati-hatian," kata Direktur Pengaturan Bank Umum OJK Eddy Mandindo Harahap dalam rilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Senin (4/2).
Ia mengungkapkan, total aset perbankan Indonesia sangat besar, baik bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank-bank ini dinilai berperan untuk membantu usaha masyarakat.
Dana yang disimpan di bank dalam bentuk tabungan dan deposito, lanjutnya, dapat disalurkan kepada masyarakat dan perusahaan yang memang membutuhkan dana atau kredit. Termasuk untuk membantu akselerasi program pembiayaan di sektor kelautan dan perikanan. Bank sendiri, ujar dia, telah menyediakan berbagai macam kredit, di antaranya kredit produktif, investasi, dan konsumtif.
Menurut Eddy Mandindo Harahap, kredit produktif dapat dimanfaatkan nelayan sebagai modal kerja misalnya untuk membeli bahan bakar, pakan ikan, maupun sembako awak kapal perikanan yang sifatnya modal kerja jangka pendek sebagai pembiayaan operasional.
Adapun kredit investasi dapat dimanfaatkan untuk membeli kapal atau peralatan melaut atau kegiatan budidaya yang dapat digunakan dalam jangka panjang. Namun, nelayan tidak dianjurkan untuk mengajukan kredit konsumtif untuk pembelian motor, rumah, dan hal lain yang bersifat konsumtif dan tidak menghasilkan.
Eddy menyatakan, OJK juga mendorong perbankan untuk menyusun periode pembayaran yang disesuaikan dengan kemampuan dan kegiatan usaha nelayan.
Berdasarkan data OJK, Desember 2016 total kredit yang diberikan perbankan untuk sektor maritim mencapai Rp 95,398 miliar. Pada 2017 meningkat menjadi Rp 101,996 miliar, dan pada 2018 kembali meningkat menjadi Rp 105,892 miliar.
Namun, Non Performing Loan (NPL) atau potensi kredit macet menunjukkan penurunan setiap tahunnya. NPL 2016 tercatat 5,28 persen, dan turun menjadi 3,97 persen di 2017, dan kembali turun menjadi 2,79 persen di tahun 2018.
"Angka yang menggembirakan karena jumlah kredit naik tapi NPL-nya turun. Padahal umumnya kalau total kredit naik, NPL ada kecenderungan untuk naik. Khusus di sektor maritim ini cukup bagus," ujarnya.
Untuk itu, pemerintah terus bersinergi mendorong perbankan menyalurkan bantuan demi pertumbuhan sektor maritim yang merupakan sektor produktif dengan pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Caranya dengan memberikan bobot penilaian risiko kredit UMK sebesar 75 persen, lebih kecil dibandingkan bobot risiko korporasi sebesar 100 persen.
Sepanjang 2018, pemerintah melalui KKP juga telah menyelenggarakan berbagai program lainnya untuk mendorong kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) telah menyalurkan 562 unit bantuan kapal perikanan, 720 paket alat penangkap ikan, dan 138.679 premi asuransi nelayan.
DJPT juga membangun 11 lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Higienis, 134 syahbandar perikanan dengan 283 petugas, 4 lokasi TPI perairan darat, dan 4 lokasi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT). Selain itu, DJPT juga melayani e-logbook 1.595 kapal penangkap ikan, menempatkan 252 observer kapal, penataan perizinan di 11 WPP, dan melayani 9.951 Sertifikat Hak Atas Tanah Nelayan (Sehat) nelayan.