Selasa 05 Feb 2019 10:02 WIB

Dylan, Lennon, Wilder, Dhani: Jarak Kebencian dan Perjuangan

Ternyata lagu bisa mengubah seseorang menjadi apa saja bahkan legenda.

Red: Muhammad Subarkah
Ahmad Dhani
Foto: Dok Republika
Ahmad Dhani

Oleh: Dr Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle)

Puluhan You Tuber berlomba cepat meng "upload" berita konser musik Dewa di Malaysia Sabtu, 2/2/2019 lalu. Baru dalam sehari you tuber Suhairi telah mencatat 1,5 juta penonton, viva.co mencatat 1 juta viewer, tranding kekinian 1 juta viewer, surya citra tv 538.000 viewer, puluhan pengupload lainnya mencatat penonton 100 ribu sampai dengan 200.000. Secara keseluruhan jumlahnya, sudah berjuta orang melihat video dengan judul konser Dewa dengan menambah embel-embel anaknya Ahmad Dhani, Dul dan Al menangis.

Cepatnya rakyat dunia maya menonton dan  merespons video tersebut tentu saja berhubungan dengan tragedi dipenjaranya Ahmad Dhani (ADP) beberapa hari yang lalu, karena mungkin dianggap terlalu banyak "menyulitkan" rezim yang sedang berkuasa saat ini. Atau mungkin karena sesuai tuduhan terhadap dia "hate speech" (ujaran kebencian)

"Hate Speech" itu apa? tentu banyak rakyat bingung, karena ungkapan manusia di era "internet of things dan big data" saat ini dapat menjadi "chit chat" yang dimulai dengan obrolan biasa, berkembang jadi saling argumen lalu berkembang jadi ujaran panas, yang bisa menghinggapi siapa saja.

Pemenjaraan Ahmad Dhani 1,5 tahun adalah tragedi terbesar di dunia. Ini jika kita bandingkan, umpamanya, dengan Geert Wilders di Belanda dan Mark Olic Porter di Arizona, USA. Mengapa? Sebab, hukuman yang diperoleh Ahmad Dhani lebih terkesan politik dibanding hukum murni. 

Wilders, pemimpin parta ultra Nasionalis, yang selalu menyebarkan kebencian anti Islam dan imigran, khususnya Maroko, di Belanda, pada bulan Desember, 2016, dinyatakan bersalah, untuk diskriminasi bukan menghasut  kebencian. Ternyata juga dia tidak di penjara dan tidak didenda:

"However, the court cleared Wilders of the charge of inciting hatred and imposed no fine or sentence, ruling that a criminal conviction was sufficient punishment for a politician in Wilders’ position" (Namun, pengadilan membebaskan Wilders dari tuduhan menghasut kebencian dan tidak menjatuhkan hukuman atau denda, memutuskan bahwa adanya hukuman pidana adalah hukuman yang cukup untuk seorang politisi di posisi layaknya Wilders), begitu isi berita media bergengsi The Guardian, 9/12/16. Hanya dinyatakan bersalah juga buat Wilders tidak bisa terima. Dia meyakini demokrasi membolehkan dia berbicara terbuka.

Begitu juga nasib Marc Olic Porter, sebagai contoh lainya, pada akhir 2016. Beda dengan Wilders dia seorang yang bukan politisi. Atas tindakannya Porter dihukum 9 bulan penjara karena "Hate Speech" karena mengejek anak dan ayah berkulit hitam, dengan kasar dan menyebutnya "negro". ( www.sltrib.com ). Dia dipidana atas ucapannya jika melihat sebutan Negro yang tidak bisa diterima lagi di Amerika Serikat karena faktor historis, plus cara pengungkapan Porter yang kasar. Jadi ini mungkin hakim berpikir ini sudah masuk ke "crime" (melakukan pidana/kejahatan).

Namun, secara umum di Amerika tidak dikenal dengan hukuman "hate speech", karena Amerika memberi kebebasan pada "hate" dan "speech" tersebut seperti tertuang dalam amandemen pertama konsitusi Amerika itu (first amandemen of constitution). Di dalam situs American Library Association ( www.ala.org/advocacy/intfreedom/hate ) jelas memang dibahas bedanya "hate speech" versus "hate crime", dimana yang pertama lebih kepada pikiran sedang yang terkahir pada tindakan. Membakar Masjid, misalnya, di Texas tahun lalu, pelakunya diberikan pasal-pasal terkait "hate crime" alias kriminal.

Jikalau 'musuh politik' Dhani ingin membandingkan kasusnya dengan kasus Ahok yakni "penghinaan agama", tentu kasus Ahmad Dhani dalam tuduhan ujaran kebencian, kurang relevan dan tidak masuk akal. Maksudnya tidak dapat dibandingkan. Menghina agama adalah menghina ideologi negara. Sebaliknya, Ahmad Dhani justru juga pernah hampir masuk penjara di masa lalu, ketika terkait dengan tuduhan penghinaan agama (sekali lagi di masa lalu). Sedangkan ujaran kebencian yang dituduhkan ke Dhani samasekali tidak terkait dengan urusan agama.

Maka adanya ketidak masuk akal ini, membuat akal sehat rakyat terlihat mulai mempertimbangkan Dhani mempunyai urusan lain dengan kekuasaan yang ada, sehingga keberadaan dia di dunia politik cukup menakutkan. Mungkinkah?

Untuk melihat kemungkinan tersebut perlu dipertimbangkan posisi dan peran Dhani selama hampir lima tahun terakhir seperti berikut ini: 1). Ahmad Dhani menjadi politisi Gerindra dan artis utama di sisi Prabowo. 2) Dhani ditangkap dan ditersangkakan kasus makar pada 2/12/2016 melawan rezim Jokowi. Pada saat itu polisi memeriksa saya sebagai saksi kasus makar, pertanyaan polisi terhadap Ahmad Dhani hampir sama arahnya dengan Sri Bintang Pamungkas. Dalam pertemuan 100 tokoh nasional di aula kampus UBK, yang dipimpin Rachmawati Soekarnoputri, Dhani memang mengeluarkan pikiran radikal tentang perlunya mempersenjatai sejuta rakyat dengan bambu runcing. Ini dianggap sebagai pikiran berbahaya.

3. Dhani melakukan gerakan anti Ahok selama Ahok memerintah di ibukota. Padahal Ahok adalah sosok inti dalam kekuasaan rezim Jokowi saat itu. 4) Dhani mempublikasikan pikiran-pikirannya dalam bentuk tulisan singkat melalui media sosial yang berisi antara lain: a) permusuhan dengan komunisme dan PKI, b) cinta ulama sebagai harga mati, c) permusuhan terhadap tenaga kerja asing (khususnya tenaga kerja Cina), d) mendegradasi rezim Jokowi dalam urusan kedaulatan atas sumberdaya alam, dan lain sebagainya.

5) Dhani merupakan calon anggota DPR RI asal daerah pemilihan Surabaya. Daerah ini dalam peta pilpres 2019 menjadi daerah paling "competitive" bagi pasangan 01 dan 02.

Maka, dengan berbagai pertimbangan di atas, perasaan rakyat tampak bercampur bahwa hukuman berat yang diterima Dhani kemungkinan campuran kehendak hakim dan penguasa.

The Warrior (Sang Pejuang)

Pertarungan Ahmad Dhani selama hampir 5 tahun ini telah merubah persepsi publik bahwa Dhani hanyalah seorang "vote getters" (penggaet suara) menjadi seorang pejuang. Vote getters telah dilabeli kepada berbagai artis dan seniman selama ini yang masuk ke dunia politik. Ingat dahulu di zaman Presiden Gus Dur, Dhani pernah menjadi calon legislatif dari pemilihan Bali melalui Partai Keadailan Bangsa (PKB). Selain pentas di depan massa, dia juga terlihat beberapa kali manggung menyanyi di markas partai tersebut.

Kebersamaan artis dan pemimpin politik terjadi diberbagai belahan dunia, seperti misalnya kedekatan Elvis Presley dan Presiden Nixon atau Meriah Carey/Kanya West dan Obama di USA, atau kedekatan Slank dengan Jokowi, namun artis/musician yang bermetamorfosis menjadi politisi dan terus bermetamorfosis menjadi pejuang sulit terjadi. Hal inilah yang mulai terlihat pada sosok Ahmad Dhani.

Di Indonesia dahulu ada juga sosok super star seperti Rhoma Irama yang terang-terangan dan getol mengaku melawan rezim Orde Baru dengan menjadi jurkam PPP. Sama dengan Dhani dia juga selain manggung, Rhoma juga tampil memberikan orasi politik. Lagu-lagunya seperti bertajuk pemilu, adu domba, hak asaasi manusia merupakan kritikan sangat keras kepada rezim yang saat itu sangat represif.

Rhoma datang sebagai penyambung lidah aspirasi idelogi Islam yang kala itu menjadi pejoratif di mata penguasa. Dia lantang menyebut grup musiknya 'Soneta' sebagai 'Sound of Muslim' dan mengawali pementasan dengan salam 'Asalamulaikum' yang kala itu dianggap tabu dalam pementasan musik dan hanya pantas di ucapkan di forum pengajian. Setelah itu ada Iwan Fals, namun bedanya dia tidak terjun langsung ke politik menjadi 'vote getters' sebuah partai politik. Saat itu dia hanya menjadi sosok pengkritik rezim belaka.

Nah, pada tahap metamorfosis pertama itulah, yakni ketika Dhani berubah jadi politisi,

kepentingan Dhani memang sangat terkait dengan kepentingan Prabowo dan Partai Gerindra. Uniknya, pada fase berikutnya, tanpa disadari Dhani telah membentuk sebuah sosok yang memperjuangkan "kebenaran" dalam versi yang dia yakini. Dhani meyakini bahwa komunis adalah ideologi sesat, yang menurutnya ada dan berkembang saat ini. Lalu, Dhani meyakini Islam sebagai "tafsiran ideologi" yang menyelamatkan bangsa Indonesia.

Meskipun Dhani tidak menampakkan kajian teoritis atas berbagai pikiran-pikirannya, namun pikiran-pikiran Dhani tersebut tentunya berkembang dari interakasi sosial yang terjadi pada dirinya selama 5 tahun ini. Ha itu ditambah berbagai konfrontasi keyakinan di masa lalu, ketika dia berkonflik dengan sebagian aktifis Islam. Dan titik ini saya maka diyakini bila seorang seniman, dengan kemampuan artikulasi rasa, jiwa dan emosi, tentu mempunyai jalan sendiri menemukan eksistensi pikiran-pikirannya tersebut.

Rex Thomson, dalam "The Intertwined Relationship Between Music And Politics", mengatakan bahwa: The very nature of politics is, like music, rooted in conflict and harmony.  The heart of music is the interplay of the physical and the mental, as the compromise between them forms a cohesive whole hole (Hakikat alamiah dari politik adalah berakar dari konflik dan harmoni. Inti dari musik adalah interaksi antara fisik dan mental, karena kompromi di antara mereka membentuk keseluruhan lubang yang kohesif). Kutipan ini diambil dari https://liveforlivemusic.com/features/the-intertwined-relationship-between-music-and-politics/ )

Di situah Thomson mencatat hubungan musik dan politik dalam beberpa jenis yakni "protest songs, music for voting, on the campaign trial, musical endorsements and musicians running for office".

Nah, dalam katagori ini Ahmad Dhani sudah bermetamorfosis dari music for voting kepada  "campaign & endorsements" (mengendorse Prabowo sebagai Presiden dan secara sosial untuk Habib Rizieq sebagai Imam Besar ummat Islam), lalu "running for office" (sebagai kandidat wakil walikota Bekasi dan Caleg DPR). Namun, "protest songs" belum terlalu muncul dalam perjalanan Dhani, sebagaimana telah terjadi pada berbagai pikiran musisi Indoesia dam juga dunia seperti John Lennon dan Bob Dylan.

Dalam hal tersebut Lenon misalnya menjadi sosok dibenci di Amerika karena dia dipercaya menyebar dan menyakini ideologi sosialis yang kala itu menjadi musuh ide besar kapitalis Amerika. Sedangkan Dylan menjadi pelopor generasi bunga yang melawan kebrutalan Amerika yang saat itu tergila-gila perang di Vietnam serta terlibat perang dingin dengan komunis Uni Sovyet dan Cina bersama sekutunya demi menegakan supremasi ide kapitalis.Lagunya yang sangat melegenda 'Blowing in The Wind' menyindir impian kejantanan Amerika yang katanya baru muncul bila seorang pria sudah merasakan ditembaki atau terkena lemparan mortir sewaktu kecamuk perang.

Di situlah Dyaln dianggap pelopor sekaligus pejuang sebagai peletak dasar munculnya 'generasi bunga'. Dia kini sudah mendapat hadiah Nobel. Di samping itu ada Bob Marley asal Jamaika yang getol menyuarakan persamaan hak asasi manusia, terutama rintihan penderitaan manusia kulit berwarna dengan genre musik Rastra. Ada lagunya yang melegenda yakni 'Bufallo Soldier' (kisah legiun tentara keturunan Afrika di Amerika yang mengalam diskriminasi).

Atas fenoma itu, misalnya, mengambil "protest song" lagu mereka, semua menunjukkan perbedaan mendasar diri mereka dibanding pemusik lainnya. Dalam hal ini kelihatannya tinggal menunggu waktu bagaimana Dhani, dengan tragedi penjara yang dihadapinya, mampu menterjemahkan pikiran dan sikap politiknya menjadi gubahan lagu-lagu perjuangan. Uniknya awalnya semua itu tidak diawali di dalam negeri, tapi melalui konser grupnya, Dewa 19, di negeri tetangga Malaysia.

Galibnya kisah penjara dalam mitologi Mahabarata, tempat itu malah bagaikan sebuah "kawah candradimuka" bagi Gatotkaca untuk tumbuh dewasa serta mencapai kesaktian. Bagi Ahmad Dhani, tentu penjara melengkapi perjuangannya sebagai pejuang tangguh bagi kebangkitan bangsa kita. Jika John Lennon mampu menciptakan "protest song" seperti "Give peace a chance" atau "imagine", tanpa penderitaan di penjara, maka Dhani akan mampu hebat layaknya Lennon. Lagu ini juga menjadi ever Green Dunia layaknya lagu lain yang menjadi penanda perubahan zaman, lagu milik grup asal Jerman Scorpion dengan vokalisnya Klaus Mine: Wind Of Change.

Lihat misalnya pada lagu 'Hadapi dengan Senyuman' yang kini tiba-tiba menjadi hits lagi. Akibat konser di Malaysia lagu ini menjadi 'kesukaan baru' setelah dinyanyikan oleh penyanyi jempolan Ari Lasso, petikan gitar ritmis Andra Maulana, dan pencetan tuts keyboard anak bungsunya, Abdul Kadir Jaleani atau Dul itu.

Perguliran waktu ternyata telah bisa menggubah karya lagu/syair dan seorang penyanyi, menjadi seorang politisi, ideolog, hingga menjadi legenda seperti kisah mitologi dan dongeng. Di sini sebuah karya seni dan seniman terbukti mampu bermetamorfosis seperti apa saja, atau tak hanya menjadi 'kepompong' yang dipuja dan dielukan dalam sebatas histeria masa.

'Hadapi dengan senyuman

semua yang terjadi

biar terjadi...'

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement