Jumat 22 Feb 2019 17:47 WIB

Apa itu Qadha?

Kebaikan yang paling utama ialah yang paling segera dilaksanakan.

Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Qadha artinya mengganti. Mengqadha utang puasa Ramadhan tidak harus langsung setelah Ramadhan, boleh ditunda sampai Ramadhan tahun berikutnya. Berdasarkan riwayat yang dibawakan dari Aisyah RA, katanya, "Saya pernah punya utang puasa Ramadhan, tapi saya baru bisa menggantikannya pada bulan Sya'ban tahun berikutnya." (HR Asy-Syaikhan).

Meskipun begitu, tetaplah berlaku kaidah yang mengatakan, "Kebaikan yang paling utama ialah yang paling segera dilaksanakan." Dalam Alquran dikatakan, "Bersegeralah kamu kepada ampunan Rab-mu.'' (QS Ali Imran [3]: 133). Di ayat lain, "Merekalah orang-orang yang bersegera melakukan kebiakan dan merekalah orang-orang yang terdahulu sampai." (QS al-Mukminun [23]: 61).

Baca Juga

Menurut ijmak para ulama, siapa yang meninggal dunia dengan utang shalat, maka walinya tidak wajib menggantinya, begitu pula yang lainnya. Tapi, tidak demikian dengan ibadah puasa. Berdasarkan Alquran, mengqadha puasa bisa ditunaikan pada kesempatan lain. "Maka berpuasalah pada hari-hari lain." (QS al-Baqarah [2]: 185). Menurut Ibnu Abbas, boleh dipisah-pisah dan pendapat Abu Hurairah, boleh dikerjakan dengan hitungan ganjil kalau mau.

Bagi orang yang tidak sanggup berpuasa, tidak digantikan oleh seseorang puasanya pada waktu ia hidup, tapi sebagai gantinya cukup memberikan makan kepada seorang miskin tiap-tiap hari ia tidak mengerjakan puasanya itu.

Namun, siapa yang meninggal dunia dengan meninggalkan utang puasa maka diganti oleh walinya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, "Barang siapa yang meninggalkan utang puasa maka dibayar puasanya itu oleh walinya." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Abu Daud).

Dibawakan oleh Ibnu Abbas RA dari Rasulullah SAW katanya, "Ada seorang yang menanyakan: Ya Rasulullah, ibu saya meninggal dunia dengan meninggalkan utang puasa sebulan, apakah saya akan menggantinya? Maka jawabnya, 'Ya. Utang kepada Allah lebih tepat untuk ditunaikan.' (HR Asy-Syaikhan, Ahmad, dan lain-lain).

Menurut Ibnu Abbas, "Apabila seseorang sakit di bulan Ramadhan, kemudian ia meninggal dunia dengan utang puasa,maka diganti dengan memberi makan, bukan dengan mengqadhanya. Akan tetapi, kalau ia punya utang puasa nazar, walinya harus mengqadhanya. (HR Abu Daud dengan Sanad Shahih).

Ibnu Abbas juga meriwayatkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa wali si mayat mengqadha puasa nazarnya, "Bahwa Sa'ad bin Ubbadah RA bertanya kepada Nabi SAW, 'Bagaimana dengan ibu saya yang meninggal dunia dengan berutang puasa nazar?' Nabi SAW menjawab, 'qadha dia.'" (HR Asy-Syaikhan dan lain-lain).

Siapa yang meninggal dunia dengan utang puasa nazar maka dapat diqadha oleh orang banyak secara bersama-sama sebanyak hari yang diutang. Al-Hasan menjelaskan, "Kalau pembayaran fidyah makanan, kalau walinya mengumpulkan orang miskin sebanyak hari yang diutang dan mereka dikenyangkan semua, juga boleh, begitulah yang dilakukan Anas bin Malik Radhiallahu 'anhu."

Dam/ disarikan dari buku berpuasa seperti rasulullah, salim al hilali dan ali hasan ali abdulhamied, penerbit gema insani press.

sumber : Dialog Jumat Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement