REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menginjak usia sekira 21 tahun, Agus Salim hijrah dari Tanah Air ke Tanah Suci--tidak jadi ke Tanah Rendah alias Negeri Belanda. Pada 1906, dia tiba di Arab Saudi.
Jabatannya sejak saat itu adalah, staf ahli penerjemahan pada kantor Konsulat Belanda di Jeddah. Lima tahun pertama cukup berat dirasakannya.
Kesukaran itu lebih disebabkan kebiasaannya yang sesungguhnya baik. Karakteristiknya adalah melihat diri setara dengan orang lain. Dia toh sudah memeroleh status hukum sama seperti orang-orang Eropa di Hindia Belanda (Indonesia).
Namun, atasannya yang orang Belanda tetap memandangnya rendah semata-mata karena etnisnya Pribumi. Di antara bidang pekerjaannya, mengurus administrasi orang-orang Indonesia yang beribadah haji.
“Mungkin di kala itu atasan saya orang Belanda sering merasa kesal, karena dalam mengurus para jemaah haji, jika terjadi persoalan, maka saya lebih banyak berpihak kepada para jamaah, daripada melihat masalah dari pihak Konsulat Belanda,” kenang Haji Agus Salim kemudian.
Hubungan Paman-Keponakan
Selama di Arab, Agus Salim juga menjalin komunikasi yang intens dengan pamannya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Dia juga menyempatkan diri untuk pergi ke Makkah bila pekerjaan di Jeddah libur atau menenggang.
Syekh Ahmad Khatib pada waktu itu termasuk ulama yang sangat berwibawa di Tanah Suci. Sejak 1876, posisinya tercatat sebagai imam besar Masjidil Haram sekaligus pengajar utama fiqih mazhab Syafii—kendati dia juga pakar tiga mazhab lainnya.
Kepada sang paman, Agus Salim banyak bertukar pikiran dan bahkan berdebat tentang berbagai pokok persoalan agama.
(ilustrasi) Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Maklum, belasan tahun lamanya dia memperoleh pendidikan ala Barat, baik di Sumatra maupun Jawa. Sehingga, lumayan "berjarak" dengan mendalami pengetahuan agama.
Untuk diketahui, anak-anak yang bersekolah di HBS umumnya berpandangan sekuler. Mereka bahkan tidak jarang menyepelekan peran agama dalam kemajuan masyarakat. Kecenderungan itu amat serasi dengan inti dari Politik Asosiasi yang dicetuskan orientalis Belanda untuk peta jalan Hindia Belanda sepanjang abad ke-20.
Syekh al-Minangkabawi selalu bersedia diskusi di sela-sela kesibukannya. Buya Hamka menulis dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, ulama besar itu memiliki banyak murid yang kelak menjadi tokoh-tokoh penting di Indonesia.
Sebut saja, KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) atau KH Hasyim Asy’arie (pendiri Nahdlatul Ulama). Adapun yang sama daerah asalnya adalah, antara lain, Syekh Jamil Jambek, Syekh Jamil Jaho, Syekh Sulaiman Rasuli, dan Syekh Abdulkarim Amrullah—ayahanda Buya Hamka sendiri.
Menurut mantan ketua umum MUI itu, Agus Salim berbeda sifat daripada nama-nama di atas. Sebab, keponakan Syekh Ahmad Khatib itu memiliki cakrawala pengetahuan modern yang mumpuni.
Hal itu lantaran kemampuannya berbahasa Inggris dan Belanda yang unggul. Keadaan demikian bukan berarti timpang. Justru, yang muncul adalah kesepahaman. Untuk diketahui, Syekh Ahmad Khatib pernah mengenyam pendidikan formal ala Barat selama belum hijrah ke Tanah Suci. Saat itu, dia menempuh studi di Sekolah Raja, Bukittinggi, sebelum merantau ke Arab.