REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hanya kira-kira tiga tahun Haji Agus Salim aktif di sekolah HIS yang didirikannya di Koto Gadang. Perhatiannya kemudian mulai tercurah pada perkembangan organisasi-organisasi di Tanah Air yang muncul bak cendawan di musim hujan awal abad ke-20.
Begitu kembali ke Jawa, lelaki yang berperawakan pendek ini menyadari besarnya semangat orang-orang Pribumi terpelajar dalam membentuk pergerakan.
Di Buitenzorg (Bogor), misalnya, sang perintis media massa Pribumi Medan Prijaji, RM Tirto Adisuryo (1875-1918) mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 27 Maret 1909.
Misinya, memperjuangkan kepentingan umat Islam di Hindia Belanda. Melalui organisasi, Tirto berharap jumlah umat Islam yang begitu banyak secara kuantitas dapat menghasilkan kualitas kekuatan manajerial yang rapi dan visioner.
Dua tahun kemudian, Tirto membentuk cabang SDI di Solo (Jawa Tengah) berkat kerja sama dengan Haji Samanhudi. Sejak saat itu, dengan AD/ART yang baru, SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI).
(ilustrasi) RM Tirto dan KH Samanhudi
Inilah organisasi massa terbesar pada masanya. Puluhan ribu orang menjadi simpatisan. Kepemimpinan Samanhudi kemudian digantikan HOS Tjokroaminoto. Dia merupakan seorang pengusaha sekaligus orator yang kharismatik. Rakyat Jawa kerap mengelu-elukannya sebagai tokoh besar. Pejabat Belanda sampai-sampai menjulukinya De Ongekroonde van Java, ‘Raja Jawa tanpa Mahkota.’
Mulanya Dekat dengan SI
Persentuhan awal Haji Agus Salim dengan SI tidak tiba-tiba. Seperti dijelaskan dalam memoarnya, saat itu dia berhubungan dengan kepolisian kolonial, yang kemudian memintanya menyelidiki ketua umum SI. Siapa lagi kalau bukan HOS Tjokroaminoto?
HOS Tjokroaminoto
Belanda mencurigai figur yang menetap di Surabaya itu telah menerima pasokan senjata dari luar negeri untuk memberontak terhadap penguasa Hindia Belanda. Tuduhan lainnya, Tjokroaminoto mau “menjual SI ke Jerman” seharga 150 ribu gulden.
Tentu saja, Agus Salim tidak termakan isu. Dia meyakini dua hal itu rumor belaka. Bagaimanapun, dia tetap mencari tahu siapa 'Raja Jawa tanpa Mahkota' itu dan apa itu SI.
“Investigasi membawa saya untuk mengetahui lebih jauh tentang Sarekat Islam, khususnya kepemimpinan Tjokroaminoto. Inilah yang menyebabkan saya bergabung dengan gerakan itu. Sesudahnya, saya berhenti menjalin hubungan dengan kepolisian,” ungkap Haji Agus Salim dalam catatan yang dikutip Deliar Noer (1973: 111).
Tujuh pekan lamanya, Agus Salim justru bersahabat dengan Tjokroaminoto. Intelektual Minang ini kagum dengan cara-cara pemimpin SI tersebut memobilisasi puluhan ribu massa, sehingga umat menjadi kekuatan yang terstruktur.
Begitu kembali ke Batavia (Jakarta), komisaris polisi heran, mengapa selama di Surabaya informannya ini tidak berkabar. Bahkan, Agus Salim menolak pula ongkos perjalanannya diganti.
Kelihatan bahwa Haji Agus Salim berjiwa bebas. Investigasi yang dilakukannya semata-mata untuk menuntaskan rasa penasarannya sendiri tentang organisasi itu. Jadi, bukan tugasnya menjadi mata-mata Belanda. Dia menganggap apa yang pemerintah lakukan sekadar memberi informasi awal.
“Kalau tak karena Belanda, mungkin lama sekali saya baru akan mendengar dan melihat ada perkumpulan seperti SI ini,” kisahnya yang termuat dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1996: 59).
(ilustrasi) logo sarekat islam