REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Situasi ibu kota RI kala itu, Yogyakarta, dinilai kian rentan dari serangan Belanda. Karena itu, para pemimpin negara mengadakan serangkaian persiapan atau rencana-rencana.
Dalam biografinya yang ditulis Ajip Rosidi, Syafruddin Prawiranegara mengenang. Saat itu, ada dua kemungkinan masa depan perundingan antara RI dan Belanda. Pertama, bila kesepakatan tercapai, maka Belanda akan mengakui kedaulatan RI. Pada waktu itu, hal demikian dianggap muskil.
Kedua, jika jalan menuju perundingan terus buntu, maka Bung Hatta selaku wakil presiden sebisa mungkin akan diberangkatkan ke Sumatra dari Yogyakarta. Tujuannya, membentuk pemerintahan darurat Republik Indonesia (PDRI). Hal itu juga telah dibicarakan dengan Presiden Sukarno. Kemungkinan ini ternyata mewujud.
Diplomasi antara RI dan Belanda mandeg. Pada pukul 05.30 WIB pagi tanggal 19 Desember 1948, militer Belanda mulai menyerang Yogyakarta. Dalam situasi yang sedemikian gawat itu, Bung Karno dan Bung Hatta masih sempat menggelar sidang kabinet darurat pada pukul 10.00 WIB. Dihasilkanlah tiga putusan.
Pertama, Presiden dan Wakil Presiden direncanakan tetap tinggal di dalam kota Yogyakarta. Hal ini berisiko keduanya ditangkap Belanda; dan memang demikianlah yang akhirnya terjadi.
Kedua, tentara dan rakyat dianjurkan melaksanakan perang gerilya terhadap pasukan Belanda. Ketiga, Presiden dan Wakil Presiden mengirimkan kawat kapada menteri kemakmuran rakyat, Mr Syafruddin Prawiranegara, yang sedang di Bukittinggi (Sumatra Barat). Yang bersangkutan diangkat sementara untuk membentuk pemerintahan darurat, termasuk alat-alat kelengkapannya, semisal kabinet.
Pada intinya, Syafruddin selaku yang bertanggung jawab atas PDRI mengambil alih fungsi pemerintah pusat. Selain itu, kawat dari Yogyakarta juga dikirim kepada Mr AA Maramis yang sedang menjadi duta RI di New Delhi, India.
Syafruddin Prawiranegara saat itu berusia 37 tahun. Di Bukittinggi, dia terkejut mendengar kabar Sukarno, Hatta, dan Sjahrir serta para petinggi negara ditangkap Belanda.
Sementara itu, militer Belanda dengan cepat menyerang Bukittinggi. Maka para pemimpin yang tersisa di sana memutuskan untuk menyingkir ke luar kota. Tepatnya ke area perkebunan teh Halaban, sekira 15 km di selatan Payakumbuh.
Baca juga: Kisah Syafruddin Prawiranegara Memimpin PDRI (3)