Senin 04 Mar 2019 06:54 WIB

Tak Kunjung Terbit, IHW Soroti 6 Hal Terkait RPP Halal

UU Jaminan Produk Halal sudah diundangkan pada 17 Oktober 2014

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nidia Zuraya
Sejumlah produk makanan luar tanpa sertifikasi halal diperlihatkan di Kantor Indonesia Halal Watch, Jakarta, Rabu (6/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah produk makanan luar tanpa sertifikasi halal diperlihatkan di Kantor Indonesia Halal Watch, Jakarta, Rabu (6/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) atas Undang Undang Jaminan Produk Halal (UUJPH) hingga sekarang tak kunjung terbit. Meski, Presiden Joko Widodo menyoroti hal ini pada Ahad (3/3).

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengatakan, UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal diundangkan pada 17 Oktober 2014 melalui lembaran Negara Tahun 2014 No 295. Pada Pasal 65 UUJPH disebutkan, Peraturan Pelaksana UU ini harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak UU ini diundangkan.

Baca Juga

UUJPH diundangkan pada 17 Oktober  2014 artinya selambat-lambatnya PP seharusnya telah diterbitkan pada Oktober 2019 dihitung maju dari 17 Oktober 2014. "Namun, kenyataanya sampai memasuki tahun kelima dan masa mandatori Sertifikasi Halal yakni Oktober 2019, RPP belum juga diterbitkan," ujarnya kepada Republika, Ahad (3/3).

Menurutnya, ada enam hal terkait dengan PP yang sampai kini belum diterbitkan. Pertama, ia melanjutkan, sertifikasi halal menurut UUJPH diterbitkan oleh sebuah badan di bawah Kementrian Agama yakni Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan tahapan Permohonan diajukan oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH.

"Nah, pada tahap ini apakah BPJPH sudah siap dengan segala instrumenya? contoh, di mana pemohon sertifikasi halal dapat mengajukan? di BPJPH Pusat di Jakarta ataukah di provinsi atau di tingkat Kabupaten/ Kota?. Termasuk, apakah BPJPH telah dibentuk di Provinsi dan Kabupaten/ Kota," paparnya.

 

Hal kedua yang disoroti IHW adalah mengenai sistem permohonan pendaftaranya juga masih belum jelas. "Apakah dilakukan secara langsung manual atau dengan sistem online seperti yang sudah dilakukan oleh LPPOMUI saat ini," ujar Ikhsan.

Ketiga, pemeriksaan produk halal dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal sebagaimana ketentuan Pasal 12 dan 13 UUJPH. "Nah sampai saat ini belum ada satupun LPH yang telah diakreditasi oleh BPJPH," kata Ikhsan.

Sebab, menurut Ikhsan, LPH harus berbadan hukum keagamaan. Menurutnya, sebuah LPH wajib memiliki minimal tiga orang Auditor Halal yang telah disertifikasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sampai saat ini, diakui Ikhsan, BPJPH belum dapat melahirkan satu pun Auditor Halal sejak dibentuk dan diluncurkan pada Oktober 2017.

Berkaitan dengan tarif sertifikasi halal, harus ada standarisasi tarif untuk produk UKM, produk perusahaan menengah dan besar dan perusahaan multinasional coorporation. Ini wajib diatur dalam PP dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 44 UUJPH setidaknya ditetapkan melalui SK Menteri Keuangan sesuai kategori tersebut agar berkeadilan dan berkepastian sesuai prinsip UUJPH.

Dengan begitu, sejalan dengan niatan Presiden membantu Produk UKM mie dan baso agar bersertifikasi halal dengan mudah cepat dan biaya murah bila mungkin digratiskan atau dibebankan kepada instansi Pemerintah yang terkait," katanya.

Dibanding itu semua, ada hal yang sangat penting yakni standardisasi halal yang harus jelas mengacu pada standar halal yang mana. Sebab, hal ini berkaitan dengan sistem jaminan halal dan yang berbasis dan berkorelasi dengan fatwa MUI.

Sebagai gambaran, LPPOM saat ini menggunakan AHAS 23000 yang juga telah diadopsi oleh Lembaga Sertifikasi Halal berbagai negara. Itu artinya LPPOM sudah jelas memiliki acuan standar apa yang akan dipergunakan.

"Jauh akan lebih baik digunakan standar yang sudah ada dan baik tinggal disempurnakan jadu tidak menyulitkan dunia usaha untuk melakukan penyesuaian," kata dia.

Keenam, nengenai kerja sama BPJPH dengan MUI terkaot Pemfatwaan Produk Halal. Ia menjelaskan, sesuai UU JPH Fatwa Produk Halal dilakukan oleh MUI yang ditetapkan oleh Komisi Fatwa.

Sejauh ini, ungkap Ikhsan, belum ada kerja sama yang telah ditandatangani antara BPJPH dengan MUI. "Jadi bila RPP diterbitkan sementara poin-poin penting di atas tersebut belum dapat diselesaikan, maka pasti akan menimbulkan persoalan baru yang lebih kompleks," katanya.

Hal ini nantinya akan mempersulit dan membebani dunia usaha dan industri. Menurutnya, lebih aman dengan keadaan seperti sekarang, sertifikasi halal tetap dilakukan oleh LPPOM MUI sampai BPJPH benar-benar siap dan dapat berfungsi, sesuai ketentuan Pasal 59 dan 60 UUJPH.

"Sehingga masa transisi atau peralihan Sertifikasi Halal dari LPPOM MUI ke BPJPH benar-benar berjalan dengan baik tanpa menimbulkan persoalan bagi ketersediaan produk halal di masyarakat, juga bagi dunia usaha dan industri," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement