REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar Yanghee Lee menyerukan Dewan Keamanan PBB agar kasus kekerasan Rohingya dibawa ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC). Menurut dia, para korban seharusnya tidak dibiarkan untuk menunggu proses peradilan internasional.
"Jika tidak mungkin untuk merujuk situasinya ke ICC, komunitas internasional harus mempertimbangkan untuk membentuk pengadilan independen," kata Lee saat menggelar konferensi pers di Jenewa, Swiss, pada Senin (11/3), dikutip laman Anadolu Agency.
Kemudian terkait penanganan ratusan ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh, Lee mengaku sulit memperoleh laporannya. Hal itu terutama terkait keinginan Pemerintah Bangladesh merelokasi 23 ribu pengungsi ke Bhashan Char, sebuah pulau di Teluk Bengal.
"Saya kesulitan mendengar laporan dari pejabat Pemerintah Bangladesh bahwa pada bulan April mereka berencana memindahkan 23 ribu pengungsi Rohingya dari kamp-kamp di Cox's Bazar ke Bhashan Char," ujarnya.
Lee mengaku mengkhawatirkan rencana tersebut. "Relokasi yang tidak direncanakan dengan baik dan relokasi tanpa persetujuan para pengungsi yang bersangkutan berpotensi menciptakan krisis baru," kata Lee.
Hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Bangladesh. "Adalah kewajiban Bangladesh untuk memastikan bahws ini (krisis baru pengungsi) tidak terjadi," ucap Lee.
Selama konferensi pers berlangsung, Lee ditemani dua pengungsi Rohingya. Di hadapan media, mereka menceritakan pengalaman pahitnya. Salah satu pengungsi bernama Hamide Hatun. Dia mengungkapkan bahwa suaminya dan banyak anggota keluarganya dibunuh oleh tentara Myanmar. Hatun mendesak agar keadilan diberikan kepada keluarganya dan para pengungsi Rohingya lainnya.
Hatun mengaku bersedia kembali ke Myanmar, tapi beberapa syarat harus dipenuhi. "Kami ingin kembali ke negara kami dengan cara yang terhormat dan aman serta ingin hak kewarganegaraan penuh kami diberikan," ujarnya.
Sementara Muhip Ullah, pengungsi Rohingya lainnya, meminta semua pihak melihat kondisi pengungsi Rohingya di kamp pengungsian di Cox's Bazar. Mereka, kata dia, mengharapkan lebih banyak tindakan dari PBB daripada kata-kata.
Pada Agustus 2017, militer Myanmar melakukan operasi untuk memburu Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di Negara Bagian Rakhine. Operasi dilakukan setelah ARSA menyerang beberapa pos keamanan di wilayah tersebut.
Namun dalam eksekusinya, militer Myanmar turut menyerang warga sipil Rohingya. Setelah kejadian itu, lebih dari 700 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan meggantungkan hidup pada bantuan internasional.