REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) akang bicara terakit wacana Program Mubaligh dan Mubalighah Nasional. Ikadi mengingatkan program tersebut jangan menjadi upaya menyamaratakan materi ceramah.
"Kalau menyamakan materi itu agak susah. Karena di setiap daerah memiliki kebutuhan sendiri," kata Ketua Umum Ikadi Ahmad Satori kepada Republika.co.id, Kamis (14/3).
Pernyataan tersebut menanggapi rencana Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang akan menyelenggarakan Program Pengkaderan Mubalig-Mubalighah tingkat nasional. Program ini diharapakan melahirkan juru dakwah yang memiliki wawasan keislaman wasathiyah atau moderat.
Dia menilai program tersebut bagus jika bertujuan membuat seorang pendakwah memiliki pengetahuan yang mumpuni, tilawah Alquran sesuai standar, wawasan luas, dan metodologi yang baik.
Dengan demikian, menurut dia standarisasi mubaligh tersebut harus bertujuan meningkatkan kemampuan seorang mubaligh dan mubalighah, baik dari sisi materi, metode penyampaian, dan penguasaan massa.
"Sangat bagus sekali itu, penting. Semoga arahnya ke sana," ujar dia.
Namun, Ismail, mengatakan apabila program mubaligh nasional bertujuan menyamakan materi ceramah setiap dai, maka sangat sulit. Sebab, ketika mubaligh berceramah, mereka akan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi suatu masyarakat.
"Kalau berbicara di masjid, itu berbeda dengan berbicara di lapangan, untuk materi di masyarakat yang hobi judi kan akan berbeda, yang banyak penyakit riba juga beda," kata dia.
Satori menegaskan ceramah bertujuan menyelesaikan dan mengkritik problematika yang ada di masyarakat.
"Maka kalau dari sisi istilahnya metologinya, penyampaiannya, meningkatkan kualitas dai, itu sangat bagus," ujar dia.
Terkait apakah Program Mubaligh Nasional harus wajib atau tidak, Satori menegaskan hal itu tergantung dari pemerintah. Apabila pemerintah memiliki dana, maka sebaiknya melibatkan semua mubaligh.
"Kalau mewajibkan, pemerintah harus membayar acara seperti itu," kata dia.
Selain itu, Satori mengatakan, program tersebut jangan sampai menghambat ceramah dai-dai, khususnya di daerah pedalaman.
"Jika yang nggak punya sertifikat nggak boleh ceramah, hal itu tak berjalan di masyarakat," ujar dia.
Mengingat mubaligh di daerah pedalaman belum merata, Satori memandang hal itu bisa dilakukan beriringan dengan program mubaligh nasional.
Sebab, selama ini menurut dia, pemerintah kurang peduli dengan kegiatan mengirimkan dai ke daerah terpencil atau di daerah yang umat Muslimnya minoritas.
"Kalau itu peduli dan jumlah mubaligh ditambah, itu luar biasa diarahkan metodologinya apalagi di minoritas tantangannya sangat berat. Kalau menyiapkan dai di daerah terpencil dan minoritas itu sangat saya dukung," kata Satori.