REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Uka Wikarya menyebutkan, kontribusi sektor mineral dan batu bara (minerba) terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional terus mengalami penurunan sejak delapan tahun terakhir. Tercatat, pada 2010, kontribusinya adalah 10,46 persen yang menjadi 10,28 persen di tahun setelahnya dan terus menurun sampai 7,64 pada tahun lalu.
Ia memprediksikan, nilai kontribusi masih berada di kisaran tujuh persen, meskipun tetap mengalami penurunan. Uka menilai, setidaknya ada sejumlah faktor yang menyebabkan penurunan ini.
Di antaranya mulai diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. "Sejalan dengan regulasi itu, Indonesia mengimplementasikan larangan ekspor biji-biji mineral," ujarnya ketika ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (14/3).
Selain itu, Uka menambahkan, cadangan minerba di Indonesia diketahui semakin sedikit. Selain itu, harga minyak gas dan minerba juga semakin turun di pasaran internasional.
Faktor terakhir tersebut juga membuat kontribusi fiskal dari sektor minerba terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sempat menukik pada 2015. Yakni, dari Rp 35,4 triliun pada 2014 menjadi Rp 29,6 triliun di tahun setelahnya yang kemudian kembali menurun menjadi Rp 27,2 triliun di tahun 2016.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Montty Girianna menjelaskan, setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan kontribusi minerba terhadap PDB terus turun. "Harga komoditas turun, produksi pun terkadang turun," katanya.
Montty menyebutkan, hilirisasi menjadi poin penting. Dengan mengolah komoditas menjadi produk jadi, nilai tambah yang bisa didapatkan Indonesia akan lebih tinggi. Misalnya, mengambil data dari LPEM UI, nilai yang didapatkan ketika mengekspor aluminum ingot akan lebih menguntungkan hingga 13 kali lipat dibandingkan hanya mengirim bijih bauksit.
Tapi, Montty mengakui, banyak tantangan untuk melakukan hilirisasi di sektor minerba. Di antaranya mengubah mindset perusahaan untuk mau berinvestasi besar di awal demi membangun pabrik pengolahan maupun membayar tenaga kerja. Saat ini, kebanyakan mereka memilih berinvestasi kecil di awal dan mendapat keuntungan terbatas saat mengekspor komoditas.
Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong hilirisasi. Salah satunya, memberikan pajak ekspor lebih kecil ketika perusahaan mengirim produk jadi dibanding dengan komoditas mentah. "Dengan begitu, mereka jadi semakin tertarik untuk hilirisasi," ucap Montty.
Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Cahyono Adi mengatakan, industri hilir minerba kini memiliki potensi besar untuk berkembang. Di antaranya dengan tren mobil listrik, Indonesia berpotensi mengolah kobalt sebagai bahan baku untuk batu aki dan batu baterai.
Dengan hilirisasi, Agus menambahkan, juga akan menyebabkan perluasan lapangan kerja. Sebab, industri minerba memiliki sektor turunan yang berpotensi menyerap tenaga kerja. "Ini bukti nyata kalau sektor pengelolaan sumber daya alam (SDA) bisa jadi economic trigger," tuturnya.
Agus menilai, prospek sektor ini akan terus cerah dengan persyaratan industri harus terus melakukan reformasi. Tujuannya, agar mereka kompetitif untuk mengelola dan mengusahakan SDA, sehingga lebih valuable dan tidak merusak lingkungan. Strateginya, mengelola hasil SDA untuk bisa membiayai meminimalkan dampak.