REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Malu sesungguhnya memilki konotasi yang positif dalam konteks menjaga keimanan dalam diri seorang Muslim. Perasaan itu bagaikan perisai yang menjaga seseorang dari perbuatan yang melampaui batas.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda, sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud, "Jika engkau tidak merasa malu, maka berbuatlah sekehendakmu." Ujaran tersebut mesti dimaknai sebagai peringatan. Jika seseorang sudah luntur rasa malunya, maka dia akan bersikap permisif. Malahan, dirinya jatuh ke jurang kesesatan.
Rasa malu erat kaitannya dengan sikap berhati-hati (wara'). Tujuannya supaya seseorang menaati perintah dan menjauhi seluruh larangan Allah SWT. Malu juga berkenaan dengan sikap iffah, yakni memelihara diri dan martabat. Sebab, perbuatan buruk hanya menghinakan pribadi seorang Muslim.
Rasulullah SAW pernah berpesan, "Hendaklah kalian merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya."
Para sahabat yang menyimak beliau pun menjawab, "Segala puji bagi Allah. Kami sudah merasa malu kepada Allah."
"Tidak, kalian belum merasa malu. Orang yang betul-betul merasa malu di hadapan Allah hendaklah menjaga kepala berikut isinya (pikiran), menjaga perut berikut isinya (makanan), dan hendaklah mengingat mati dan bencana. Siapa yang menginginkan kebahagiaan di akhirat, maka hendaknya meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang sudah melakukan itu semua, berarti telah betul-betul mempunyai rasa malu kepada Allah," kata Rasulullah SAW memaparkan.
Malu mengendalikan diri seorang pemimpin dari kesewenang-wenangan. Para pejabat akan menolak korupsi bila rasa malunya kuat kepada Allah SWT. Dia selalu percaya, Sang Pencipta Mahamengetahui.
Sekali lagi, menanamkan rasa malu sejak dini berarti membentengi diri dari godaan keburukan. Rasa malu di sini tidak sama dengan minder alias rendah diri. Seorang anak yang kuat rasa malunya cenderung tenang, tidak suka keributan, dan mampu berpikir jernih bahkan bijaksana.