REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jajat Burhanudin yang menulis buku Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017) menjelaskan, terdapat sedikit kontroversi seputar sosok pendiri Kesultanan Malaka. Kitab Sulatus Salatin dari abad ke-15 mencatat Iskandar Shah sebagai raja pertamanya.
Akan tetapi, catatan pengelana Portugis Tome Pires dari abad ke-16 menyebutkan raja pertama Malaka adalah Parameswara. Orientalis Inggris, RO Winstedt, cenderung menyintesiskan dua pandangan itu. Menurutnya, baik Parameswara maupun Iskandar Shah merupakan tokoh yang sama. Lebih lanjut, dijelaskannya bahwa Iskandar Shah merupakan nama baru Parameswara setelah dia memeluk Islam. Penggantian nama seorang penguasa memang jamak terjadi di alam negeri Melayu setelah menerima agama ini.
Merujuk pada Suma Oriental karya Tome Pires, Parameswara merupakan putra mahkota Kerajaan Palembang yang menyelamatkan diri ke Temasek (Singapura) akibat serangan dari Jawa. Namun, pulau tersebut kemudian diserbu Kerajaan Siam. Parameswara pun lari ke Malaka bersama dengan para pengikutnya.
Di kota pesisir Semenanjung Malaya ini, dia mendirikan kerajaan pada 1403 dengan bantuan orang-orang Melayu asal Palembang serta kaum perompak. Parameswara membangun kekuatan maritim agar kapal-kapal yang melewati Selat Malaka singgah di pelabuhannya. Dengan begitu, kerajaan baru ini memeroleh pemasukan dari pajak dan surat jalan.
Pada masa itu, ancaman terbesar untuk Malaka adalah Majapahit dari selatan dan Siam dari utara. Untuk mengatasinya, Parameswara bekerja sama dengan Dinasti Ming yang gencar menjalankan ekspansi pengaruh di Nusantara sejak permulaan abad ke-15. Berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa yang datang kemudian di kepulauan ini, wangsa Cina tersebut tidak bertujuan menjajah. Raja-raja di Nusantara mendapatkan perlindungan militer dan politik dari kaisar Cina. Sementara itu, Dinasti Ming juga diuntungkan karena dapat mengamankan rute perdagangannya dari Laut Cina Selatan hingga India yang sebelumnya kerap diganggu bajak laut.
Duta terpenting Dinasti Ming untuk Nusantara adalah Cheng Ho. Laksamana yang beragama Islam ini pada 1409 dan 1414 mengirimkan bantuan balatentara ke Malaka. Dengan demikian, Parameswara dapat dengan cepat mengembangkan kedaulatan maritim di Selat Malaka. Apalagi, Majapahit saat itu mulai dilanda Perang Paregreg yang memecah-belah kalangan elite di Jawa. Ketika pada 1435 Wangsa Ming mengurangi keterlibatannya di Nusantara, kejayaan Malaka tinggal menunggu waktu saja.
Menurut Burhanudin, pada masa inilah perpindahan agama terjadi pada raja-raja Malaka sehingga menjadi Muslim. Terkait Islamisasi elite kerajaan ini, ada dua pendapat. Tome Pires mencatat bahwa Parameswara, yang sudah berusia 72 tahun, memeluk Islam ketika menikah dengan putri raja Samudra Pasai.
Adapun keterangan versi Sulatus Salatin menyebutkan, Islamisasi baru terjadi setelah Malaka diperintah raja kedua, Sri Maharaja, yang berkenalan dengan mubaligh asal Jiddah, Sayyid Abdul Aziz. Setelah menerima Islam, penguasa tersebut berganti nama menjadi Sultan Muhammad Syah. Atas dasar inilah beberapa sejarawan menganggap tokoh tersebut, bukan Parameswara, sebagai pendiri Kesultanan Malaka.
Demikianlah, kerajaan tersebut kini memegang kendali penuh atas Selat Malaka, seperti yang pernah dinikmati Sriwijaya dan Samudra Pasai pada masa-masa silam.