REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamu adalah apa yang kamu makan. Begitu kata pepatah. Umat Islam, pada berabad-abad yang lalu pun ternyata telah memahami hal itu. Mereka tak mau sembarang makan.
Sebaliknya, apa pun yang mereka konsumsi harus berimbas positif pada kesehatan. Prinsip ini setidaknya diterapkan pada masa Kesultanan Turki Ottoman atau dikenal juga dengan sebutan Kesultanan Utsmaniyah (1299-1923).
Kesultanan Ottoman adalah negara multietnis dan multireligius. Negeri ini didirikan oleh Bani Utsman, yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil. Selama enam abad, kesultanan ini menjadi pusat interaksi antara Barat dan Timur.
Pada zaman Ottoman, pilihan menu makanan sehari-hari harus memenuhi spesifikasi yang disebut “enam peraturan yang harus diikuti untuk hidup sehat”. Salah satu dari peraturan tersebut adalah menyeimbangkan menu makanan.
Para ilmuwan pada masa itu percaya, makanan dan minuman menjadi hal yang paling penting dalam kesehatan. Makanan dianggap tidak hanya menyediakan nutrisi bagi tubuh tetapi juga mempertahankan kesehatan.
Prinsip kesehatan dan keseimbangan nutrisi dalam ilmu kesehatan Ottoman didasarkan pada teori elemen dan cairan tubuh. Banyak buku kesehatan pada masa itu membahas bagaimana menjaga tubuh dari efek berbahaya ketika seseorang tidak mengontrol makanan yang dikonsumsi.
Untuk menentralisasi makanan ‘berbahaya’ yang telanjur masuk ke dalam tubuh, disarankan untuk mengonsumsi makanan lain yang berfungsi sebagai penangkal. Sekadar contoh, makanan yang bersifat dingin seperti mentimun dapat dinetralkan dengan makanan lain yang bersifat hangat seperti bawang putih atau daun mint.