REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan
Tawakal berarti menyerahkan diri kepada Allah SWT, tidak bergantung kepada makhluk atau benda lain. Dengan kata lain, manusia hanya dapat berusaha, sedangkan yang menentukan berhasil atau tidaknya sesuatu adalah Allah. Karena itu, manusia harus berserah diri dan memohon pertolongan kepada-Nya.
Namun, tawakal kepada Allah tidak berarti penyerahan diri secara pasif. Tawakal harus disertai dengan usaha. Hal ini sangat tampak pada sikap Nabi SAW ketika memarahi seseorang karena hanya mengandalkan tawakal pada Allah tanpa mau berusaha.
Menurut cerita seorang sahabat Nabi SAW, Anas bin Malik, pada suatu hari ada seorang laki-laki berhenti di depan masjid untuk mendatangi Rasulullah. Unta tunggangannya dilepas begitu saja tanpa ditambat. Rasulullah bertanya, ''Mengapa unta itu tidak diikat?'' Lelaki itu menjawab, ''Saya lepaskan unta itu karena saya percaya pada perlindungan Allah SWT.''
Maka Rasulullah menegur secara bijaksana, ''Ikatlah unta itu, sesudah itu barulah kamu bertawakal.'' Lelaki itu pun lalu menambatkan unta itu di sebuah pohon kurma. Suatu penjelasan yang gamblang mengenai tawakal telah diberikan Rasulullah lewat peristiwa itu. Bahwa sesudah manusia berusaha, lalu menyerahkan hasilnya pada ketentuan Allah, itulah tawakal menurut ajaran Islam.
Kalau, misalnya -- seperti dalam kasus di atas -- unta itu sudah diikat, dan ternyata tetap hilang juga, itulah yang dinamakan takdir. Terhadap keputusan takdir, tidak satu pun dapat kita lakukan, kecuali menerimanya dengan tulus ikhlas, sembari berharap, semoga di balik takdir itu ada manfaat yang lebih besar buat kita.
Allah SWT berfirman: ''Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesulitan), dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, Maka Allah akan mencukupkan (keperluannya).'' (Q.S. 65: 2-3).
Dalam kehidupan sehari-hari, hal-hal kecil juga menjadi perhatian Rasulullah SAW. Sebagai misal, dalam mendirikan rumah, agar dilengkapi dengan jendela dan pintu, tidak membiarkan ruangan rumah bebas terbuka. Semua itu, meski mungkin tampak remeh, memberi isyarat tentang makna tawakal.
Membiarkan rumah sampai larut malam tanpa dikunci, sementara seisi rumah tertidur lelap, adalah tanda kebodohan dan kenekatan, bukan tawakal. Kepada keluarganya yang lalai menjaga rumah, Nabi bersabda, ''Kuncilah pintu rumahmu.''
Dalam memimpin berbagai pertempuran, Nabi tidak pernah telanjang dada atau membiarkan tubuhnya tanpa terlindung. Nabi memegang perisai dan memakai baju besi. Bila suasana keamanan sedang gawat, Nabi bertanya, ''Siapa yang akan mengawalku malam ini?'' Sehubungan dengan hadis di atas, Imam Sahal (seorang sufi) berkata, ''Barang siapa yang menentang ikhtiar (usaha), berarti menentang Sunnah. Dan barang siapa menentang tawakal, berarti mencela iman.''