REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kepala Bagian Informasi dan Humas Badan Usaha Logistik (Bulog) mengatakan, saat ini sudah ada 7.000 ton daging kerbau impor yang sudah masuk ke Indonesia. Jumlah tersebut merupakan realisasi dari kuota impor sebesar 100 ribu ton yang ditentukan pemerintah.
“Sekitar 7.000-an (ton) yang sudah masuk,” kata Teguh saat dihubungi Republika, Senin (22/4).
Menurut Teguh, jumlah daging kerbau impor India yang diterima Bulog tersebut sudah siap didistribusikan kepada distributor dan rumah pangan kita (RPK). Pasokan daging kerbau beku tersebut merupakan langkah antisipasi pemerintah dalam merespons kenaikan permintaan daging yang cenderung meningkat pada Ramadhan dan Lebaran. Di mana umumnya, kenaikan permintaan dapat secara langsung mengerek kenaikan harga.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 96 Tahun 2018 tentang penetapan harga acuan pembelian di petani dan harga acuan penjualan konsumen disebutkan, harga eceran tertinggi (HET) daging kerbau beku dipatok sebesar Rp 80 ribu per kilogram (kg). Sedangkan HET daging sapi segar dipatok dalam harga rata-rata Rp 105 ribu-Rp120 ribu per kg.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) I Ketut Diarmita menjelaskan, pasokan daging kerbau maupun sapi menjelang Ramadhan aman terkendali. Dia menjabarkan, saat ini ketersediaan daging sapi maupun kerbau sebesar 90 ribu ton dan dipastikan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi Ramadhan.
“Jumlah itu gabungan dari produksi lokal dan impor yang ada,” kata Ketut.
Dia mengakui, produksi daging ternak seperti sapi dan kerbau belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi secara nasional. Menurutnya, tingkat produksi hewan ternak seperti sapi dan kerbau lokal hanya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional sebesar 66 persen saja, sisanya Indonesia masih menggantungkan pasokan dari impor.
Adapun impor daging yang kerap dilakukan pemerintah kerap berasal dari dua negara penghasil daging sapi dan kerbau yang ada, seperti Australia dan India. Meski kualitas hewan ternak produksi dua negara tersebut berbeda, pihaknya mengaku terus mengupayakan standarisasi yang ketat dalam memberikan rekomendasi impor kepada pemerintah.
Standarisasi tersebut, kata dia, sudah mengacu pada ketetapan yang diterapkan World Trade Organisation (WTO) dan acuan hukum yang berlaku di Indonesia. “Seperti daging kerbau India yang banyak dikenal ada penyakit kukunya, itu sudah kita cek semua. Misalnya daging harus dilayukan di bawah PH6, itu sudah dilakukan,” kata Ketut.
Menurut Ketut, harga daging baik sapi maupun kerbau saat ini masih relatif aman. Kalaupun ada kenaikan harga pada pertengahan Ramadhan atau mendekati Lebaran nanti, kata dia, kenaikan tersebut tidak akan merugikan peternak lokal. Berdasarkan pengalamannya, kenaikan harga daging sapi dan kerbau pada Ramadhan cenderung disebabkan oleh peningkatan konsumsi.
Meski dia tidak menampik kerap ada mafia pangan yang kerap bermain-main dalam pengaturan pasokan di pasar. Menurutnya, sejauh ini Kementan sudah menggerakkan Satuan Tugas (Satgas) Pangan dan menemukan setidaknya 700-an lebih mafia pangan yang sudah diproses hukum.
Ketut juga berpendapat, adanya mafia pangan juga kadang diperlukan sebagai penyambung ke tingkat pengecer. Meski, dalam praktiknya, perlakuan tersebut menyalahi aturan dan tidak tepat jika terus dilangsungkan. “Ya kadang-kadang, ada baiknya juga itu mafia, distibusikan ke pengecer,” kata Ketut.
Sekretaris Jenderal Kementan Syukur Iwantoro menambahkan, meski produksi ternak sapi dan kerbau belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan secara nasional, pada prinsipnya pemerintah kerap berupaya untuk menyerap hasil produksi peternak lokal. Untuk itu, pihaknya tengah mengupayakan produksi dengan melarang pemotongan indukan betina.
“Kami larang itu, agar yang sapi dan kerbau betinanya bisa berkembang biak,” kata Syukur.