REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Morton dalam uraiannya, Fruits of Warm Climates (1987), memaparkan bagaimana persebaran awal buah delima. Pada mulanya, pohon-pohon delima sebatas dikenal layaknya tanaman liar di kawasan Persia hingga India Utara. Seiring dengan arus migrasi penduduk setempat, budaya mengonsumsi delima juga turut menyebar.
Di India zaman prasejarah, bentuk buah itu diketahui masih berkulit tebal serta arils yang cenderung lebih kecil. Barulah dengan domestifikasi, pohon-pohon itu dikembangkan dan dirawat dengan pertanian yang lebih metodis. Hasilnya, buah-buahan yang dipanen pun lebih baik—dagingnya lebih tebal, sedangkan kulitnya lebih segar.
Bangsa Iran telah membuat kebun-kebun delima setidak-tidaknya sejak 3.000 tahun SM. Interaksi kekaisaran Persia dengan Barat (Yunani, dan belakangan Romawi) membuat pamor delima ikut terbawa ke sana.
Sejak tahun 800, seluruh wilayah imperium Romawi marak dengan kebun-kebun delima. Kecenderungan ini bertahan bahkan hingga kerajaan besar itu terbagi menjadi dua—satu berpusat di Roma dan lainnya di Konstantinopel (kini Istanbul). Demikianlah, delima mewarnai diet masyarakat di banyak wilayah Eurasia.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila delima menjadi salah satu komoditas unggulan. Morton mencatat, buah ini pertama kali tersebar ke wilayah Nusantara sejak tahun 1400-an. Diduga, pembawanya antara lain para saudagar Muslim dari Asia Barat yang akhirnya juga turut bermukim dan menyebarkan Islam di daerah-daerah. Beberapa abad kemudian, ekspansi pelaut-pelaut Eropa mulai bergerak ke belahan bumi barat.
Tibalah mereka di “tanah tak bertuan” (terra incognita) yang dinamakannya Hindia Barat (kini Benua Amerika). Para pelaut Spanyol diketahui memperkenalkan tanaman delima ke Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan pada masa 1500-an hingga 1600-an. Sejak saat itu, perkebunan delima mulai muncul di sejumlah titik sekujur Amerika.