REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan perpajakan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah naik sebesar Rp 100 miliar dari tahun lalu menjadi Rp 5,8 triliun. Pihaknya optimistis, penerimaan perpajakan akan naik seiring sejumlah fasilitas permodalan dan insentif perpajakan yang telah diberikan.
Tahun lalu, Kemenkeu mencatat penerimaan pajak UMKM mencapai Rp 5,7 triliun dari total penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.315,9 triliun. “Ya kita targetkan tahun ini paling tidak mencapai Rp 5,8 trilin. UMKM di Indonesia jumlahnya memang sangat banyak tapi kan tidak masuk kategori wajib pajak,” kata Robert di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (30/4).
Mengutip statistik Kementerian Koperasi dan UKM, terdapat 62.922.617 badan usaha di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 58.627 (0,09 persen) merupakan usaha menengah, 757.090 (1,20 persen) usaha kecil, dan 62.106.900 (98,7 persen) termasuk usaha mikro.
Namun, dari jumlah itu, Robert memaparkan saat ini baru terdaftar sekitar 1,8 juta UMKM yang menjadi wajib pajak di Indonesia. Ia mengatakan, meskipun jumlah UMKM di Indonesia mencapai puluhan juta, tidak semuanya masuk kategori wajib pajak berdasarkan tingkat penghasilannya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan, sejauh ini posisi kepatuhan pajak di Indonesia baru mencapai 71 persen atau sekitar 12,5 juta dari total jumlah wajib pajak di Indonesia. Jika ditelisik lebih dalam, pembayaran pajak di Indonesia didominasi oleh penerimaan korporasi.
Menurut dia, hal itu yang membuat situasi dan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kadang kala mengikuti siklus ekonomi. Ketika ekonomi meningkat, penerimaan pajak ikut terdorong. Namun, ketika siklus tengah melambat, penerimaan pajak ikut menyusut. Hal itu dikarenakan pola korporasi yang tergantung pada kondisi ekonomi.
Sementara, Sri menilai, pembayar pajak yang jumlah pajaknya relatif kecil, seperti UMKM jauh lebih tahan. Itu sebabnya, pihaknya meminta Dirjen Pajak untuk dapat meningkatkan penerimaan perpajakan dengan basis wajib pajak yang lebih luas, khususnya UMKM. Namun, dengan catatan layanan yang amkin murah dan efisien sehingga UMKM tak lagi mengeluh untuk sekadar memenuhi kewajiban.
“Ini yang saya harap dari Dirjen Pajak. Bagaimana mempermudah para pelaku wajib pajak UMKM,” ujarnya.
Dia mengatakan, program Business Development Services (BDS) yang dilakukan Ditjen Pajak bersama 21 BUMN diharapkan dapat mengangkat status UMKM dari usaha yang informal menjadi formal. UMKM, kata dia, harus dapat melakukan transformasi diri serta memiliki kesadaran untuk mengukur kemampuan usaha yang dijalan.
Meski begitu, Sri menekankan, dorongan agar UMKM yang mayoritas merupakan usaha informal menjadi formal bukan berarti akan mendapatkan banyak beban dan pengeluaran. Menurut dia, hal tersebut yang kerap kali membuat para pelaku UMKM di Indonesia enggan untuk menjadikan status usahanya menjadi formal.
“Usaha formal dinilai bahwa akan ada berbagai konsekuensi yang nantinya menjadi beban dan biaya. Ini menjadi tantangan kita semua. Sebab, kalau tidak ada langkah yang tepat mereka UMKM tidak akan pernah naik ke permukaan,” ujar Sri.
Oleh karena itu, program-program pembinaan yang dilakukan oleh DJP seyogyanya bukan hanya memperhatikan dari sisi pajak. Namun, adanya BDS bisa membantu UMKM untuk bertransformasi lebih besar dan nantinya akan memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia.
“Saya berharap Dirjen Pajak mampu memperkuat pelayanan pajak yang mudah karena ini jadi kunci penting. Kalau orang masih ketakutan dan merasa sulit berhubungan dengan pajak, maka Dirjen Pajak masih memiliki pekerjaan rumah yang besar,” ujarnya.