REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tulisan HJR Murray, A History of Chess (1913), menyebutkan banyak referensi yang mengungkap keterlibatan bangsawan dan khalifah Muslim dalam penyebaran catur ataupun tata cara bermain catur. Misalnya, Said bin Al-Musayyib yang pertama kali bermain catur di depan publik.
"Permainan catur diperbolehkan karena tak ada unsur perjudian," kata
Ada pula Muhammad bin Sirin (wafat tahun 728 M) yang dikenal sebagai salah satu master catur pertama yang bermain dengan mata tertutup. Kemampuan itu juga menurun pada salah satu cucunya, Hisyam bin Urwah (wafat 765M).
Kota Baghdad juga menjadi saksi sejarah perkembangan catur. Kota yang didirikan pada 750 M sebagai ibu kota Dinasti Abbasiyah ini sekelas dengan Kota Delhi, Beijing, dan Konstantinopel. Kota-kota ini dinilai menjadi pusat peradaban dunia.
Para khalifah dan bangsawan mencari sumber segala macam pembelajaran dan inovasi, termasuk terjemahan dari teks Yunani pada ilmu pengetahuan, matematika, geografi, astronomi, pertanian, dan kedokteran di kota tersebut. Para khalifah secara teratur membawa orang-orang terpelajar dari Timur Tengah, Asia Tengah, Mesir, dan India ke Baghdad.
Di antara kesibukan intelektual itu, catur menjadi bagian tak terpisahkan. Di kala senggang, para intelektual itu memainkan bidak-bidak catur. Tak sekadar untuk mengisi waktu senggang, lama-kelamaan catur menjadi permainan yang dipertandingkan. Tak sedikit master catur dari Persia dan Asia Tengah datang ke Baghdad untuk menantang pemain terbaik di dunia Islam.
Di kalangan mereka, pernah ada permainan catur jarak jauh. Cara tersebut dilakukan Harun al-Rasyid yang melakukan pertandingan catur korespondensi dengan Kaisar Bizantium, Nicephorus, pada sekitar tahun 800 M.
Alkisah, mereka berdua menabuh genderang perang melalui strategi catur. Mereka menjalankan permainan ini dengan mengutus prajurit sebagai pion-pion mereka. Peristiwa ini bermula saat sang kaisar dituduh oleh Harun mendahului langkahnya dengan mengirim prajurit ke benteng sang khalifah.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, tercatat sejumlah nama besar (master) di dunia catur. Salah satunya adalah al-Adli, yang meladeni semua penantang pada 850 M. Meski demikian, ia harus takluk di hadapan a-Razi, generasi muda, yang mendominasi catur selama beberapa dekade.
Pada abad ke-10, muncul dua master catur paling terkenal di Abbasiyah, al-Lajlaj dan al-Suli. Jejak keduanya diketahui dari sebuah buku yang disusun pada pertengahan abad ke-12.
"Dua master ini dikenal dengan permainan mereka yang tenang," kata al-Mas'udi, sejarawan yang hidup di abad ke-14. Ia juga mengatakan, para pemain catur tak menghendaki diganggu penonton saat bertarung. Mereka tak suka suasana gaduh. "Pemain catur menggunakan sedikit basa-basi, tapi menggunakan banyak langkah untuk mengejutkan lawan," katanya