REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kematian Ulugh Beg pada 1449 karena dibunuh putranya sendiri membuat sang murid bersedih hati. Al-Qushji memutuskan berhenti dari observatorium.
Dia menyingkir dari Samarkand menuju Tabriz di Iran. Di tempat baru, al-Qushji bertemu Uzun Hasan, salah satu pengatur peme rintahan negara Akkoyunlu. Hasan meminta kesediaan al-Qushji untuk bertemu penguasa Istanbul, Sultan Muhammad II.
Sultan muda ini ternyata menghormati al-Qushji. Dia pun tertarik menggandeng al-Qushji untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di Istanbul. Tawaran mengajar pun dilayangkan bagi al-Qushji.
Dia diminta menjadi pengajar utama di pusat pendidikan dan penelitian Madrasas, Istanbul. Lembaga ini sangat disegani karena mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengolah sumber daya alam bagi penduduk Turki saat itu.
Para pengajar terbaik dari seluruh negeri diundang untuk menjadi pengajar di lembaga ini. Beragam ilmu turunan matematika, seperti aritmatika, geometri, aljabar, astronomi, ilmu alam, serta fisika, diberikan bagi para murid. Mereka juga mempelajari ilmu filsafat dan tafsir Alquran.
Namun, al-Qushji menampik tawaran Sultan untuk mengajar di lembaga terkemuka itu. Dia sampaikan penolakannya dengan santun. Meski kecewa, Sultan Muhammad II menghormati keputusan itu dan mempersilakan al-Qushji kembali ke Tabriz. Hati al-Qushji baru terketuk untuk kembali ke Istanbul dua tahun kemudian (1472).
Dia disambut langsung sang Sultan. Saat bertemu Sultan Muhammad II, dia memberikan buku astronomi karyanya, al-Fathiyya. Buku ini sebagai hadiah dari al-Qushji atas kesuksesan Sultan menaklukkan Sultan Akkoyunlu, Uzun Hasan.
Di Istanbul, al-Qushji membuka sekolah sendiri. Dia dibantu para sarjana andal, seperti Molla Sari Lutfi, Kiwam al-Din Qasim, Sinan al-Din Yusuf, dan Hafiz Muhammad ibn Ali. Era ini menjadi tanda kegemilangan perkembangan ilmu pengetahuan serta penelitian masa kekhalifahan Turki Usmani.
Karya-karya Ali al-Qushji dinilai sebagai mahakarya tak ternilai. Sayangnya, di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad II, sang maestro astronomi dan matematika ini hanya pro duktif selama dua tahun. Meski demikian, karya-karyanya mampu mengharumkan nama Istanbul dan mendorong lahirnya astronom-astronom muda.
Sepanjang kariernya yang gemilang, al-Qushji tak hanya menulis tentang matematika dan astronomi. Ia juga menulis tentang ketuhanan, agama, linguistik, dan tata bahasa.
Sebagai pakar astronomi, al-Qushji menolak mentah-mentah teori yang diusung pengikut Aristoteles bahwa bumi sebagai pusat perputaran benda langit. Menurut al-Qushji, ia menggeluti dan mendalami ilmu astronomi berdasarkan teologi Islam. Karena itu, ia memisahkan pembahasan tentang filsafat alam dengan ilmu astronomi Islam.