- Setelah memenangkan Pilpres 2019 dengan perolehan suara lebih dari 85 juta, Presiden Joko Widodo kini mendapatkan mandat yang kuat untuk masa jabatan keduanya.
Apa yang akan terjadi:
- Ekonomi akan tetap menjadi fokus Jokowi dengan penekanan pada infrastruktur, sumber daya manusia
- Pemerintahan yang terpilih kembali di Jakarta dan Canberra menjadi pertanda baik untuk perjanjian perdagangan bebas
- Pengamat memperingatkan represi politik dan hak-hak minoritas dapat memburuk
Dua puluh satu tahun sejak demonstrasi pro-demokrasi berhasil menjatuhkan Presiden Suharto, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilpres 2019 dengan perolehan suara 55,5 % mengungguli penantangnya Prabowo Subianto yang meraih suara 44,5 persen.
Prabowo, yang juga menantu Presiden Suharto, berulangkali mengklaim kemenangan sejak pemungutan suara tanggal 17 April lalu, menuduh Pemerintah telah melakukan kecurangan dalam pemilu.
Bawaslu menolak laporan kubu Prabowo yang menuduh telah terjadi pelanggaran kampanye yang terstruktur, sistemik dan masif.
Namun demikian, Prabowo menyatakan akan menggugat penetapan KPU ini ke Mahkamah Konstitusi sementara para pendukungnya menggelar aksi unjukrasa.
Dengan awal periode kedua yang dramatis ini, bagaimana Joko Widodo menjalankan pemerintahannya lima tahun ke depan?
Tantangan dari Parlemen
Masalah yang dihadapi Pemerintahan Jokowi bukan hanya dari gerakan demonstrasi jalanan serta gugatan hukum terhadap hasil Pilpres 2019.
Meski koalisi partai yang mendukung Jokowi berhasil menguasai lebih dari setengah kursi parlemen yang beranggotakan 560 orang, namun pemerintahannya akan tetap menghadapi tantangan signifikan dalam melaksanakan agendanya.
"Meski kita dapat mengatakan komposisi DPR RI 'ramah terhadap Jokowi', namun parpol yang tidak mendukungnya mungkin akan menjadi hambatan bagi agendanya," kata Dr Elisabeth Kramer dari Universitas Sydney.
"DPR itu terdiri atas individu-individu yang memiliki agenda dan prioritas serta hubungan sendiri dengan partai masing-masing," katanya.
"Kondisi ini tidak mudah ditangani dan akan selalu menjadi penghalang untuk upaya reformasi dari pihak eksekutif, terlepas dari seberapa ramah komposisi parlemen di atas kertas," jelasnya.
Reformasi belum tentu berlanjut
Standard Chartered memperkirakan ekonomi Indonesia akan bernilai 10,1 triliun dolar AS atau yang keempat terbesar di dunia pada 2030 setelah China, India, dan Amerika Serikat.
"Tidak ada negara maju yang tidak memiliki infrastruktur, tidak ada negara maju yang tidak memiliki sumber daya manusia yang berkualitas," kata Jokowi dalam kampanye pada bulan April.
Pengembangan infrastruktur, khususnya di pulau-pulau terluar Indonesia yang telah lama terabaikan, adalah prioritas utama masa jabatan pertama Jokowi.
Kebijakan ini mengakibatkan melonjaknya anggaran infrastruktur sebesar $ 350 miliar untuk pembangunan jalan tol, kereta api dan bandara, yang akan dilanjutkan selama lima tahun kedua.
Presiden Joko Widodo berjanji akan menjadikan investasi dalam sumber daya manusia sebagai prioritas di termin kedua pemerintahannya.
"Jangan hanya bergantung pada sumber daya alam. Kita harus bergantung pada kekuatan sumber daya manusia," katanya dalam sidang kabinet pada Desember lalu.
Namun meski kebijakan infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan sosial tetap menjadi prioritas, Economist Intelligence Unit mengatakan bahwa "reformasi besar-besaran akan tetap sulit dilakukan".
Memindahkan ibukota negara ke luar Jawa juga telah dijanjikan Jokowi, namun tidak jelas kapan hal ini akan terwujud.
Peluang untuk Australia
Kemenangan Jokowi kemungkinan akan disambut dengan tenang oleh Canberra. Doktrin kebijakan luar negeri Jakarta yang "bebas dan aktif" akan berlanjut.
Indonesia bergabung dengan Dewan Keamanan PBB sebagai anggota tidak tetap pada 1 Januari 2019, dan berikrar akan mempromosikan hak-hak Palestina.
"Banyak tumpang tindih antara pandangan Jokowi tentang Indo-Pasifik, dengan fokus utama pada hubungan dengan India, dengan pandangan Australia," kata Natalie Sambhi, peneliti di Perth USAsia Centre.
"Ada peluang membahas kerjasama dengan Australia dalam pengembangan infrastruktur, pelatihan pasukan keamanan, dan ketahanan perubahan iklim."
Terpilihnya kembali Joko Widodo serta Scott Morrison di Australia menjadi kabar baik bagi perjanjian perdagangan bebas yang ditandatangani bulan Maret lalu.
"Perusahaan-perusahaan Australia yang melakukan bisnis dengan Indonesia akan senang dengan status quo ini," kata Heath Baker, penjabat CEO Dewan Ekspor Australia.
"Dengan hasil pemilu di masing-masing negara berarti kedua pemerintah yang perlu meratifikasi kesepakatan itu adalah orang yang sama dengan yang menegosiasikannya."
Oposisi Indonesia mengusung kampanye kebijakan yang condong pada platform ultranasionalis, yang menuduh pemerintah terlalu ramah terhadap investasi dan impor asing.
Sandiaga Uno, calon wakil presiden Prabowo Subianto, mengatakan kepada ABC pada bulan Maret bahwa ia akan merevisi kesepakatan perdagangan bebas dengan Australia, dengan menekankan perlunya "untuk memastikan bahwa perdagangan menguntungkan kedua belah pihak".
"Institusi pendidikan tinggi Australia dan rumah sakit milik Australia akan menerima perlakuan istimewa untuk mendirikan cabang di Indonesia," Dr Tommy Soesmanto, seorang dosen ekonomi di Griffith University, mengatakan kepada ABC.
"Indonesia akan mendapat manfaat dari belajar dari Australia dalam hal memperkuat sektor pendidikan dan medisnya yang saat ini tertinggal di belakang standar internasional," katanya.
Kebijakan diskriminatif
Sementara itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) justru sangat khawatir dan menilai masa jabatan kedua Jokowi akan mendorong diterapkannya kembali taktik otoriter untuk memberangus oposisi politik serta semakin memburuknya hak-hak minoritas termasuk komunitas LGBT.
Menurut Dr Kramer, sebagian orang Indonesia menganggap suka atau tidak, taktik otoriter kadang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan di negara serumit Indonesia.
Untuk mengatasi serangan berbasis agama terhadap petahana, kubu Jokowi sebelumnya "memasang" ulama konservatif Ma'ruf Amin sebagai wakil presidennya. Langkah ini banyak dikritik kalangan liberal yang mendukung Jokowi.
Menurut Human Rights Watch, Ma'ruf Amin merupakan pusat dari beberapa elemen agama dan politik kontemporer Indonesia yang paling tidak toleran, termasuk menyerukan pelarangan homoseksualitas dan mengutuk aliran minoritas Islam seperti Syiah dan Ahmadiyah.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menemukan 488 pelanggaran hak atas kebebasan beragama di bawah Pemerintahan Joko Widodo antara 2014 dan 2018.
"Pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah terjadi karena lemahnya penegakan hukum dan kebijakan diskriminatif yang merupakan cara untuk menekan kelompok minoritas," kata Rivanlee Anandar, peneliti KontraS.
Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini.