Rabu 19 Jun 2019 03:41 WIB

Joha dan Keledai

Kisah Joha dan keledainya memberi hikmah tentang pentingnya istiqamah

Nasruddin Hoja
Nasruddin Hoja

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Saifudin Kodiran     

Alkisah, dalam kitab Azhraf al-Zharfa', Joha bersama putranya pergi ke pasar mengendarai keledai, sementara putranya berjalan di sampingnya. Ketika melewati kerumunan, terdengar celoteh, "Dasar orang tua semena-mena, masak anaknya disuruh berjalan kaki." Merasa tidak nyaman dengan celotehan, Joha turun dari punggung keledai dan berganti posisi dengan anak.

Baca Juga

Di kerumunan lain, terdengar cemoohan, "Dasar anak durhaka, tega sekali membiarkan bapaknya berjalan kaki sementara ia duduk enak." Ia menyuruh putranya turun dan berjalan kaki bersamanya sementara keledainya dituntun.

Beberapa langkah kemudian, orang-orang berkomentar, "Orang aneh, mengapa keledai itu tidak dinaiki." Ia bersama sang anak menaiki punggung keledai. Di lokasi selanjutnya, orang-orang berseloroh, "Bapak dan anak sama dungunya, masak seekor keledai lemah ditunggangi berdua."

Tak mau dianggap orang bersalah, Joha dan anaknya turun, lalu keledai itu dipanggul berdua. Anak-anak kecil yang melihatnya girang dan tertawa-tawa. Keduanya berjalan hingga sampai di jembatan kecil. Joha bingung dan serbasalah. Akhirnya, keledai itu dilemparnya ke sungai.

Cerita di atas adalah gambaran orang yang tidak teguh dalam prinsip. Nashruddin Joha atau dikenal dengan Nashruddin Hoja, tokoh unik pada masa keemasan Islam. Ia bermaksud pergi ke pasar untuk berdagang bersama putranya. Dalam perjalanan, ia terjebak dalam tindakan yang membuat dirinya kebingungan.

Bingung bukan lantaran tawar-menawar harga atau menghitung keuntungan, melainkan bingung karena melakukan tindakan yang tak dimengerti oleh dirinya sendiri. Joha lupa bahwa tujuan perjalanannya adalah berdagang ke pasar. Maksud hati menyenangkan setiap orang, apa daya bingung yang didapat.

Karakter Joha dalam kisah di atas menurut teori kepribadian dikenal dengan conformist personality, pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya. Tindakan ini muncul karena ada perasaan khawatir tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Dampak dari kepribadian ini adalah rentan untuk dikuasai oleh pengaruh-pengaruh liar dan tak mampu mempertahankan tujuan atau prinsip.

Menurut hierarki Maslow, aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi (meta-needs) dalam hidup. Aktualisasi diri muncul karena adanya konsistensi terhadap tujuan. Aktualisasi diri penting sebab jika tak terpenuhi (bagi sebagian orang yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya) bisa berakibat metapatologi (penyakit kejiwaan), seperti sinisme, kebencian, kegelisahan, depresi dan metapatologi lainnya. 

Namun, dalam kisah Joha, ia terlampau khawatir sehingga melakukan kekeliruan cara meraihnya, bahkan mengorbankan tujuannya. Akibatnya, Joha menderita kerugian waktu, energi, dan keledai.

Alquran memberi solusi untuk mengantisipasi kekeliruan di atas, yaitu dengan istiqamah (konsistensi). "Tetap teguhlah kamu pada jalan yang benar sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu." (QS Hud: 112).

Selanjutnya, bertawakal dengan keputusan yang telah diambil. "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159). Wallahu A'lam.

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement