REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM – Dewan militer Sudan dan aliansi oposisi telah sepakat untuk berbagi kekuasaan di negara tersebut. Hal itu akan berlangsung hingga pemilu dapat diselenggarakan.
Mediator dari Uni Afrika Mohammed Hassan Lebatt mengatakan, dewan militer dan aliansi oposisi yang telah mengadakan pembicaraan selama dua hari di Ibu Kota Khartoum, setuju membentuk dewan berdaulat dengan rotasi antara militer serta warga sipil untuk tiga tahun atau lebih. Wakil Kepala Transisi Dewan Militer Sudan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo menyambut tercapainya kesepakatan itu.
“Kami ingin meyakinkan semua kekuatan politik, gerakan bersenjata, dan semua orang yang berpartisipasi dalam perubahan, dari pemuda perempuan dan laki-laki, bahwa perjanjian ini akan komprehensif dan tidak akan mengecualikan siapa pun,” ujarnya.
Dia mengucapkan terima kasih kepada Uni Afrika dan Ethiopia atas upaya dan kesabaran mereka dalam membantu menangani krisis politik di Sudan. Pemimpin Forces for Freedom and Change (FFC) Omar al-Degair turut menyambut kesepakatan yang telah tercapai.
“Perjanjian ini membuka jalan bagi pembentukan institusi otoritas transisi dan kami -berharap ini adalah awal dari era baru,” kata al-Degair.
Selain pembagian kekuasaan, dewan militer dan aliansi oposisi juga sepakat menunda pembentukan dewan legislatif. Sebelumnya, kedua belah pihak sepakat bahwa FFC akan mengambil dua pertiga dari kursi dewan legislatif. Namun, pada awal Juni lalu, pasukan keamanan menghancurkan aksi protes yang menyebabkan puluhan orang tewas dan menyebabkan pembicaraan gagal.
Kesepakatan antara dewan militer dan aliansi oposisi disambut dengan sukacita oleh segenap rakyat Sudan. Ribuan orang turun ke jalan sambil memukul-mukul drum. Banyak pula di antara mereka yang membunyikan klakson mobilnya sebagai bentuk kegembiraan. Semua larut dengan pekikan “Warga sipil! Warga sipil!”
Uni Emirate Arab (UEA) mengucapkan selamat kepada Sudan atas tercapainya kesepakatan antara dewan militer dan aliansi oposisi. Ia menyatakan akan mendukung negara tersebut dalam masa baik atau buruknya.
“Kami berharap bahwa fase selanjutnya akan menyaksikan fondasi sistem konstitusional yang akan memperkuat peran lembaga-lembaga dengan dukungan nasional dan populer yang luas,” ujar Menteri Luar Negeri UEA Anwar Gargash.
Para petugas medis dari pihak oposisi mengatakan lebih dari 100 orang tewas akibat aksi penyerangan yang dilakukan pasukan keamanan. Dewan militer dan oposisi sepakat melakukan penyelidikan terperinci, transparan, nasional, dan independen terhadap semua insiden kekerasan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir.
Krisis politik di Sudan berlangsung sejak mantan presiden Omar al-Bashir dilengserkan pada April lalu setelah berkuasa selama 30 tahun. Dia ditumbangkan menyusul gelombang demonstrasi yang menuntut reformasi terus berlangsung selama empat bulan terakhir.
Setelah presiden digulingkan, militer kemudian memutuskan memimpin proses transisi pemerintahan. Namun hal itu ditentang rakyat Sudan karena tak sejalan dengan misi mereka.