REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rahmat Hidayat
''Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu. Kuatkanlah kesabaranmu itu, dan tetaplah siaga serta bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung,'' (QS Ali Imran [3]: 200).
Sabar itu sendiri mempunyai tiga dimensi. Pertama, sabar menghadapi musibah. Pada hakikatnya setiap manusia lebih-lebih mereka yang mengaku beriman kepada Allah pasti diuji, yang salah satu tujuan ujian itu adalah untuk menentukan kadar dan kualitas keimanannya (QS Al-Ankabut [29]:2).
Ujian tersebut ada kalanya berupa kenikmatan, misalnya harta yang berlimpah, wajah cantik nan molek, dan pangkat. Adakalanya pula ujian itu berupa musibah (QS Al-Anbiya [21]:35) misalnya ketakutan, kelaparan, kekurangan pangan (paceklik), berkurangnya harta.
Bagi orang yang sabar, musibah bukanlah akhir dari segalanya. Ujian justru akan membuat ia semakin tegar dalam menghadapi dan mengarungi kehidupan yang semakin berat.
Orang yang sabar juga cenderung tidak menyalahkan orang lain, apalagi melakukan tindakan destruktif yang justru semakin memperparah keadaan. Sebaliknya, musibah justru menjadi awal untuk melakukan instrospeksi diri, meneliti, dan mengkaji berbagai kekurangan, kelemahan, dan kesalahan untuk selanjutnya melakukan perbaikan (reformasi).
Dimensi kedua, sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Sikap orang dalam menyikapi perintah Allah bermacam-macam. Ada yang menganggapnya sebagai ''beban''. Ada yang menganggapnya sebagai ''kebutuhan''.
Taat kepada Allah bagi orang tertentu dianggap memberatkan. Akan tetapi, bagi orang lain justru menyenangkan.
Untuk golongan yang terakhir itu, mereka menilai pada hakikatnya setiap perintah Allah akan selalu berdampak positif bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.
Misalnya, shalat yang merupakan media komunikasi antara seorang hamba dan Tuhannya akan mampu mendatangkan ketenangan dan ketenteraman jiwa (QS Ar-ra'du [13]:28). Padahal, ketenangan dan ketenteraman jiwa merupakan kebutuhan setiap manusia. Dengan demikian, maka shalat sesungguhnya merupakan kebutuhan setiap manusia.
Ketiga, sabar dalam menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Pelanggaran (maksiat) kepada Allah pada hakikatnya adalah bentuk penganiayaan kepada diri sendiri, karena apa yang dilarang oleh Allah pada hakikatnya adalah mendatangkan mudharat (bahaya).
Misalnya, perzinahan (prostitusi), minum-minuman keras, obat-obat terlarang, judi, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kesabaran untuk tak melakukan maksiat adalah sebuah kemuliaan berharga. Kata orang bijak, ''Kepuasan sejati bukanlah menuruti kehendak hawa nafsu tanpa batas, tapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk tak mengikuti hawa nafsu.