REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senior Stock Trader & Block Investors, Vier Abdul Jamal mengatakan pasar modal dapat disinergikan untuk meringankan beban utang luar negeri pemerintah. Jumlah utang pemerintah dan bank sentral per akhir April 2019 sebesar 189,7 miliar dolar AS.
Selain utang pemerintah, menurut Vier, pasar modal juga bisa membantu melunasi utang swasta (termasuk BUMN) sebesar 199,6 miliar dolar AS. "Solusi melunasi utang negara dan swasta dengan menggunakan struktur pasar modal bisa mempersingkat waktu penyelesaian utang. Bahkan, ke depan bisa menjadi sumber pendanaan bagi pemerintah atau swasta," ujar Vier di Jakarta, Senin (8/7).
Ia mengatakan kekuatan pasar modal kita yang memiliki transaksi harian berkisar Rp 8-10 triliun, tak bisa mengabaikan kontribusi BUMN yang sudah bercokol sejak lama di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Sebut saja misalnya, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Perseo) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Keempatnya pada 2017 masuk dalam 10 emiten dengan kapitalisasi terbesar pada 2017 dengan torehan Rp 1.443 triliun per 29 Desember 2017.
Kapitalisasi emiten BUMN terus merangkak naik dari tahun ke tahun, jika pada 2014 sebesar Rp 1.339 triliun, melonjak menjadi Rp 1.839 triliun per 29 Desember 2017.
Bila BUMN yang telah melantai di BEI melakukan aksi korporasi dalam penerbitan saham baru Right Issue atau Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) dengan leverage 10 kali dan rasio 1 : 99 maka puluhan, bahkan ratusan triliun lembar saham dapat dicetak dari proses ini. Dengan asumsi masing – masing BUMN yang listing di Bursa Efek Indonesia menerbitkan 250 triliun saham baru, maka dengan hanya empat perusahaan BUMN yang tercatat saja sudah bisa menerbitkan 1.000 triliun saham.
"Lalu, jika harga per lembar sahamnya naik menjadi dua kali lipat, maka dapat dipastikan mencetak 2.000 triliun," papar Vier Abdul Jamal.
Hasil aksi korporasi yang menghasilkan 2.000 triliun saham baru tersebut, tambahnya, dapat dicairkan dengan menjualnya ke pasar untuk diserap investor ritel maupun institusi, negara dapat mengantongi minimal uang tunai Rp 2.000 triliun.
Struktur lainnya, jelas Vier Abdul jamal, adalah saham baru hasil Right Issue/HMETD tersebut dapat dijadikan sebagai Asset Back Securities dalam menerbitkan National Bond yang dapat dijual murah, misalnya Rp 50 ribu per unit.
Guna memuluskan strategi ini seluruh bank pemerintah dan swasta bisa menjadi agen penjualan ke investor ritel dan institusi. National Bond yang diterbitkan memberikan tenor waktu tertentu, misal tiga atau lima tahun dengan pilihan saat maturity date si pembeli bond boleh memilih menebus bond tersebut kembali dengan uang tunai plus return yang telah dijanjikan diawal.
"Atau, dikonversi ke saham-saham BUMN yang tercatat di BEI dengan capital gain atau deviden dari masing-masing saham tersebut," ujarnya.
National Bond di atas dapat dikategorikan sesuai dengan kebutuhan pemerintah. Misal, untuk infrastruktur pembangunan Bandara, pelabuhan, dan jalan tol, pemerintah bisa menerbitkan National Infrastructure Development Bond. Contoh lainnya, National Tourism Development Bond dan National Education Development Bond.
Jurus menyinergikan BUMN yang melantai di bursa dengan konsep di atas, maka tanpa disadari kita seperti telah membangun National Federal Reserve yang nantinya memiliki cadangan uang banyak untuk membangun negara sekaligus melunasi utang-utang Indonesia.
Lewat konsep National Development Bond di atas seluruh warga negara dapat ikut berpartisipasi membangun negaranya. Termasuk melibatkan aparatur sipil negara (ASN), polisi, dan tentara nasional Indonesia (TNI) bahkan karyawan BUMN.
"Misal, dengan memotong Rp 50.000 gaji ASN, anggota TNI, anggota Polri, dan karyawan BUMN untuk membeli National Development Bond dan mendapatkan imbal hasil kedepannya dari negara, rasa-rasanya tidak ada abdi negara yang tidak mau membantu negaranya," kata Vier Abdul Jamal.