REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi terus membumikan konsep smart farming. Targetnya, smart farming bisa dikembangkan 144 kawasan transmigrasi dalam lima tahun ke depan.
Hal itu sejalan perkembangan teknologi di era digital. Kemendes akan turut menerapkan teknologi. "Dengan adanya teknologi, kita memperkenalkan konsep smart farming," kata Sekjen Kemendes, Anwar Sanusi, di University Club UGM, Selasa (9/7).
Ia menjelaskan, program ini telah mulai dijalankan di Sumba Timur, meski dalam lingkup yang kecil. Selain teknologi, petani didorong memasarkan produk mereka secara daring.
Tujuannya, agar mereka dapat menjual sendiri produk mereka dan mendapat penghasilan yang lebih tinggi. Ia menyebutkan, ada berbagai kendala yang dihadapi program transmigrasi.
Di antaranya, persoalan konektivitas mulai dari prasarana transportasi hingga akses internet. Salah satu yang kerap menjadi pertanyaan tentu saja persoalan pendidikan.
Untuk itu, Anwar mengaku sudah melakukan MoU dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Ristek Dikti. Yaitu, untuk program khusus pengembangan sumber daya manusia.
"Jadi, anak-anak transmigran bisa mendapat beasiswa untuk mereka kuliah dan setelah itu mereka kembali dan mengembangkan daerahnya," ujar Anwar, di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi 4.0 yang digelar Fakultas Geografi UGM dan Kemendesa PDTT.
Anwar menyebut, FGD penting sebagai wujud kerja sama antara para akademisi dan birokrat. Utamanya, untuk mencari solusi bagi persoalan yang ada di tengah masyarakat.
Apalagi, ia menekankan, kebijakan yang diambil pemerintah perlu dilandasi kajian komprehensif yang dihasilkan akademisi-akademisi yang kompeten di bidangnya. Agar, kebijakan bisa dipahami rakyat.
"Bisa tidak nyambung karena basisnya tidak didasarkan realitas empiris yang biasanya dihasilkan oleh dunia perguruan tinggi," kata Anwar.
Ia berharap, kegiatan ini akan meruntuhkan sekat-sekat antara dunia akademis dan birokratis. Sebab, birokrat perlu pendampingan dari akademisi.
Kemudian, pada saat yang sama akademisi perlu menerapkan hasil penelitian yang mereka lakukan agar tidak hanya dipampang di dalam jurnal. Tapi, bisa diolah menjadi kebijakan yang berdampak.