Istriku tiba-tiba merajuk, tak mau mudik. Anakku yang kini sudah duduk di kelas 2 SD justru sewot. Ia tunjukkan wajah protes. “Mulai besok Adel nggak mau puasa lagi!” anakku mengancam.
Aku serba salah. Istriku membatalkan mudik sepihak dan terlalu tiba-tiba, justru sepekan lagi niat pulang kampung kelahirannya kami lakukan. Jauh sebelum Ramadhan, ia sudah menjadwalkan akan mudik. Sudah dia siapkan koper besar yang biasa kami pakai jika berpergian ke luar kota atau saat kami berlibur ke Malaysia dan Singapura.
Alasan dia, sejak Adel di dalam perutnya sampai berusia 8 tahun ini belum pulang kampung. Maklum, perkawinan kami tak mendapat restu orang tua, terutama ayah dari istriku. Karena tak disetujui, kami pun kawin lari. Kami menikah di tangan penghulu kemudian merantau ke Kota SB.
Adapun kampung kelahiran istriku dengan kota SB di mana kini kami menetap, harus menggunakan mobil, kapal feri, masih pula melintasi beberapa kota atau provinsi dengan bus kota antarkota antarprovinsi (AKAP).
Sementara, jika memilih pesawat terbang, dari bandara RI ke Soeta, lalu naik pesawat lagi ke Bandara HJ. Kemudian, menggunakan taksi sampai depan rumah.
Tugas baruku adalah membujuk agar istriku tak membatalkan mudik. Bagaimana tidak, aku sudah membayar tanda jadi rental mobil—untuk menghemat mesin mobilku yang sudah tua—dan bisa berdebat panjang jika kuambil kembali uangnya. Selain itu, apa kata ibu jika kami batal? Bukankah mudik bisa dimaknai menyatukan balung yang berserak? Atau menyusur ulang di mana mula kelahiran, di tanah mana ari-ari ditanam.
Berulang kurayu, jawaban istriku tetap satu: batal! Batal! “Buat apa mudik, aku sudah tak punya udik,” kata dia lalu meninggalkan aku di ruang tamu.
Sifat istriku memang keras kepala. Jangankan dirayu dengan cara lembut, apalagi jika diperlakukan keras. Ya, biar saja sampai dia sadar. Meski aku tetap memberi pandangan yang baik dan santun.
Bagiku, mudik saat Lebaran tahun ini adalah momen sangat tepat karena itu amat meriangkan. Ketika aku sudah tak lagi punya orang tua—ayah dan ibuku sudah meninggal sekitar 20 tahun dan 10 tahun silam—maka bermudik ke keluarga istriku sangat kuharapkan.
Apalagi, sejak kunikahi Fitri, aku belum pernah sungkem pada kedua mertuaku. Aku adalah mantu yang belum diakui, tersingkirkan, dan tak masuk dalam hitungan keluarga besar mereka. Maka, begitu istriku berniat mudik pada Idul Fitri ini, sungguh hatiku riang tak kepalang. Di kantor, aku sudah mengajukan cuti setengah bulan kerja. Sehingga, aku tak terdesak oleh waktu.
Adel, anak kami satu-satunya, lebih bahagia lagi. Ia sudah menyebarkan kabar mudik ini kepada kawan-kawannya, baik kawan dekat rumah maupun di sekolahnya. Karena itu, bisa dibayangkan jika tak jadi. Mau dikemanakan wajahnya di hadapan teman-temannya?
“Kenapa gak jadi, bunda? Bunda bohong. Bunda masuk neraka kalau berbohong!” sontak Adel protes.
Ya. Kami selalu mengajarkan pada Adel bahwa hidup harus jujur. Tuhan sangat murka pada orang-orang yang berdusta. Neraka akan penuh oleh orang-orang yang suka berbohong. Sampai kini Adel sangat takut berbohong. Dalam bentuk apa pun.
Namun, kini ia kecewa. Ketika istriku membatalkan mudik, Adel terpukul. Ia seperti tak percaya lagi dengan kejujuran. Sesuatu yang dulunya amat suci dalam benak dan batinnya. Barangkali seluruh orang tua menaruh harapan besar kepada anak-anak tentang kejujuran ini. Karena, hal itu nyaris hilang di hati para orang dewasa.
Kini? “Kamu sudah menanamkan ketidakjujuran pada Adel, Bunda. Semestinya kau tak membatalkan karena kita sudah berjanji padanya mau pulang kampung saat Lebaran nanti. Sekarang….”
“Aku tak berdusta. Memang aku janji kita mudik. Tapi, aku juga berterus terang bahwa aku membatalkan untuk pulang,” ucap Fitri. Ia tetap bergeming. Wajahnya santai, seperti tak melakukan dosa apa pun.
“Benar, kamu terus terang. Namun, ketegasanmu itu justru telah memukul perasaannya. Ia bisa saja tak percaya lagi pada kita. Bagaimana coba?”
“Ah, terserahlah. Pokoknya aku tak akan mencabut apa yang sudah kuucapkan. Ini ketegasanku. Kataku batal mudik, ya tetap batal!” ujar istriku meninggi.
“Bunda jahat, jahat. Adel nggak mau lagi puasa, Adel nggak mau Lebaran di sini. Nggak mau pakai baju baru yang dibelikan Bunda,” Adel tetap protes.
Ia kemudian masuk ke kamar. Ia bawakan baju-baju baru yang telah disiapkan istriku. Ia lempar di kursi tamu. “Kasih saja sama orang, biar Adel pakai baju lama…”
Setelah itu, Adel menangis. Ia kembali ke kamarnya dan mengunci dari dalam. Aku menggeleng-geleng. Kulihat istriku yang duduk di sudut ruangan. Ia asyik mengupas kuaci lalu memasukkan satu persatu ke mulutnya.
“Kenapa sih, keputusanmu tiba-tiba, sangat mendadak kupikir,” ujarku kemudian. Sungguh, sampai saat ini aku belum tahu alasan kenapa ia membatalkan mudik yang sudah matang kami persiapkan. Fitri diam.
Aku ulang ucapanku: “Kenapa sih, keputusanmu tiba-tiba, sangat mendadak kupikir.” Istriku masih tak menjawab. “Pasti ada sebabnya. Jangan-jangan ada masalah dengan mama ya? Kamu semalam teleponan ya?”
Istriku tetap belum merespons. Aku sudah kehabisan cara untuk tahu penyebab kenapa ia membatalkan sepihak mudik. Padahal, kakak, adik, paman, dan saudara dekat istriku sudah sangat mengharapkan kami pulang.
“Kami benar-benar rindu, Fitri. Mama juga, dan pokoknya kami semua…” ujar Maryam, kakak perempuan istriku.
“Ya, kak, kami sudah siap pulang. Mau dibawakan oleh-oleh apa ya?” balas istriku sebulan lalu. “Kalau baju buat keponakan sudah aman. Makanan khas di sini ya? Mau?”
Kudengar suara di seberang sana, seperti beramai-ramai layaknya koor: “Mauuu….”
Itulah percakapan terakhir yang kudengar antara istriku dan keluarganya. Pakaian yang akan digunakan di rumah mama sudah dimasukkan di tas koper. Begitu pula baju-baju baru sebagai buah tangan untuk keponakan sudah masuk koper yang lain.
Namun, semalam, ia menyatakan batal mudik…