Oleh: Susana Nisa
Angin Gurun Sinai berembus lembut di pertengahan Juli ini. Lembah Najmi tampak tenang dengan hamparan pasirnya yang berwarna cokelat keemasan. Ditingkahi semburat warna lembayung senja di ufuk Bukit Ihuday, Mesir seolah memanggil para pelancong untuk menikmati keindahan alamnya yang eksotis dan menawan.
Namun, pemandangan dan siluet alam itu lenyap seketika tatkala aku datang ke kamp-kamp para demonstran pro-Mursi di Raba'a al adawiyah dan lapangan Al Nahda. Di sana, puluhan ribu rakyat Mesir turun ke jalan dan bertahan di kedua lokasi itu selama hampir enam pekan semenjak digulingkannya presiden terpilih Muhammad Mursi oleh militer Mesir.
Sore ini 13 agustus 2013, genap satu bulan aku berada di Negeri Para Nabi. Hal itu karena tugasku sebagai seorang kuli tinta di sebuah surat kabar di ibu kota. Bersama Azzam, fotografer rekanku sekantor, kami berada di base camp para demonstran untuk meliput aksi damai mereka.
Tampak orang-orang dewasa, wanita, tua, muda dan anak-anak dengan penuh semangat bertahan di kamp-kamp yang terbuat dari terpal, meskipun suhu udara mencapai 40 derajat. Di wajah mereka tak tampak rasa lelah. Tak ada keluhan yang terdengar. Dengan lantang mereka meneriakkan tuntutan kepada pemerintahan kudeta Mesir yang saat ini dipimpin oleh militer, untuk membebaskan mantan presiden Muhammad Mursi yang sampai detik ini tak diketahui bagaimana keadaannya.
Mereka sama sekali tak bergeming, bahkan tidak gentar dengan ancaman pasukan militer yang akan membubarkan mereka secara paksa bahkan dengan menggunakan kekerasan, apabila para demonstran pro Mursi dan Ikhwanul Muslimin tetap berada di Raba'a Al Adawiyah dan Al Nahda. Di antara para demonstran itu, ada seorang bayi mungil yang tertidur pulas dalam gendongan ibunya di bawah tenda.
Kulangkahkan kaki mendekati mereka. Kulihat Azzam tengah mendokumentasikan foto-foto para demonstran yang berorasi. Wanita itu menoleh dan tersenyum saat aku tiba didekatnya.
Kutanyakan berapa usia bayinya dan jawabannya sungguh mengagetkanku. Dalam bahasa Inggris bercampur Arab, dia menjawab bahwa bayinya berusia empat pekan. Bayi itu dilahirkan saat kedua orang tuanya ikut serta berunjuk rasa pada awal Ramadhan lalu.
Kemudian dengan lembut dia mengusap kepala bayinya sembari berkata, "Mu'tasim, kami memberinya nama itu. Orang yang menuntut hak, itu arti dari namanya. Jikalau takdir menghendaki, putra pertama kami akan menjadi syuhada." Bibir wanita itu tersenyum.
Seolah dia telah rela menyerahkan hidupnya juga anak dalam gendongannya untuk mati syahid membela hak-hak mereka. Kutanyakan kepada seorang wanita paruh baya di sebelah ibu muda itu, apa mereka tidak khawatir apabila sewaktu-waktu polisi dan tentara datang untuk membubarkan para demonstran secara paksa.
Sungguh lagi-lagi aku dibuat takjub oleh jawabannya, "Hidup mati di tangan Allah. Kalau tidak mati saat ini, pasti kematian akan datang di lain waktu bukan? Jadi, lebih baik aku mati dalam menuntut hak-hakku daripada terbaring di tempat tidur tanpa melakukan apa-apa melihat pemimpin terpilih kami digulingkan." Wajah merindukan surga-Nya tergambar jelas di balik senyum wanita paruh baya ini.
Setelah cukup bercakap-cakap dan bertanya tentang berbagai hal, segera kucari Azzam yang masih memfoto berbagai aktivitas yang dilakukan oleh para demonstran. Kulihat dia tengah berada di dekat panggung yang digunakan untuk berorasi. Tiba di dekatnya, sengaja kubiarkan dia fokus dengan bidikannya.
Saat menyadari kehadiranku, Azzam pun spontan berkata,Aku akan bermalam di sini. Tadi sempat berbicara dengan para demonstran dan mereka mengatakan nanti malam akan diadakan rapat untuk membahas rencana aksi unjuk rasa selanjutnya.
Aku menyetujuinya dan akan ikut serta bermalam di tempat ini. Malam pun tiba. Orang-orang dewasa berkumpul dan membahas tentang peta perjuangan dan aksi damai mereka. Sedangkan, para wanita dan anak-anak tampak tidur di tenda-tenda berselimutkan malam.