Ahad 29 Dec 2019 15:20 WIB

Shalat Istisqa (Cerpen)

Apakah Shalat Istisqa benar-benar mustajab dan mendapat sambutan di Lauhul Mahfuz?

Shalat Istisqa
Foto: Da'an Yahya/Republika
Shalat Istisqa

REPUBLIKA.CO.ID, Helai-helai daun gugur menyapa hamparan tanah yang kering-kerontang. Daun itu melayang-layang tertiup angin kering sebelum akhirnya benar-benar bermesraan dengan tanah: berguling-guling dan menyatu. Beberapa burung terbang rendah mencari tempat berteduh paling aman. Mereka melindap sebelum kembali terbang. Rupanya, matahari dan udara tak cukup ramah untuk sekawanan burung yang butuh istirahat tenang.

Di antara jejeran pohon yang mulai tinggal batang dan cabang, Kiai Sa'dullah melihat liukan bayang-bayang fatamorgana. Sesekali ia seperti air yang sedang menggenang, tapi sering kali seperti api yang berkobar datar. Beberapa orang berjalan menunduk di bawah topi jeraminya yang lebar. Langkahnya terseok-seok dan letih. Mereka berteduh di bawah rumpun bambu yang juga hampir tinggal batang.

Jam di dinding baru menunjuk pada angka 10. Sepagi ini cuaca sudah begitu menukik dan menyengat. Ah, sungguh keadaaan yang langka. Batin Kiai Sa'dullah sambil menggelengkan kepala pelan dengan mulut terus beristighfar, tanpa jeda.

Kemarau ini memang begitu kering dan panjang. Tanda-tandanya sudah dirasa sejak awal oleh sebagian besar warga. Pada awalnya, kemarau kering memang dianggap anugerah.

Warga yang mayoritas petani menganggapnya sebuah berkah. Sebagai penghasil tembakau yang dipasok ke semua perusahaan rokok, tentu akan menambah pemasukan warga. Tembakau yang melimpah dengan kualitas prima akan jadi sandaran. Namun, tidak semua yang direncanakan berjalan sempurna.

Harga tembakau melorot tanpa sebab.

Gudang-gudang begitu cepat tutup sebelum semuanya terserap. Tengkulak ingkar janji untuk membayar tembakau yang telah ditanggap dan dipasok ke gudang. Utang menumpuk.

Semuanya menyatu dan membuat petani hampir frustrasi. Harapan satu-satunya adalah hujan. Setidaknya, mereka akan segera menanam padi, jagung, cabai, dan beberapa tanaman lainnya untuk kebutuhan rumah tangga, dan sebagian dijual untuk dibelikan kebutuhan sehari-hari.

Namun, sampai detik ini, hujan itu seperti enggan bertandang. Pernah sekali hujan dan setelah itu tak lagi ia berkabar. Malah, semakin hari, matahari semakin terik dan panas itu semakin menghunjam. Tanah-tanah pecah, benih jagung yang kadung ditanam hangus, udara gersang, dan persediaan air dalam sumur mulai berkurang.

Sudah Desember. Perkiraan BMKG tentang hujan badai tak juga membuahkan hasil. Masyarakat mulai menggerutu. Namun, pada siapa harus dialamatkan, mereka pun tak paham. Mereka hanya bisa mengeluh sesama warga, setiap pagi di warung-warung kopi tempat biasa nongkrong. Para istri pun mulai ngomel-ngomel tak jelas, dan yang menjadi sasaran adalah suaminya sendiri meski sebenarnya mereka juga tak tahu apa-apa.

Kiai Sa'dullah termangu sepi. Dia masih belum bisa memutuskan apakah shalat Istisqa akan segera dilangsungkan, atau masih akan ditunda. Dia memang sedih melihat kenyataan yang terjadi di depan matanya sendiri. Namun, dia masih ragu, apakah shalat yang hendak dilaksanakan akan benar-benar mustajab dan mendapat sambutan di Lauhul Mahfuz sana? Entahlah.

Petuah sesepuhnya yang sempat dia dengar dari masa ke masa masih terngiang.

Dia yakin, petuah itu benar. Alam ini hanya merespons, semuanya bergantung pada sikap manusia kepada diri, alam, dan Tuhannya. Maka, kemarau kali ini tentu diakibatkan oleh manusia sendiri.

Namun, apakah dia harus tetap membiarkan saja? Ini merupakan tantangan tersendiri baginya sebagai seorang yang ditokohkan. Meski usianya terbilang sudah sepuh, dia terus mengikuti perkembangan terkini lewat koran langganan yang tiba tiap pagi.

Sesekali, dia juga ikut berdiskusi dengan beberapa orang yang sempat bertamu ke rumahnya. Dia paham bahwa penebangan hutan kian beringas, pembangunan gedung- gedung perkantoran dan industri juga tak jarang mengorbankan tanah produktif warga, penambangan besar-besaran menguras habis penyimpanan air di bawah tanah, dan manusia sudah hampir tanpa aturan agama. Kejadian-kejadian ini tentu saling bertaut dalam perubahan-perubahan musim yang kian absurd.

Dua hari lalu, perwakilan warga mendatangi dirinya. Mereka meminta untuk segera mengadakan permohonan kepada Tuhan agar hujan segera diturunkan. Waktu itu, dia hanya tersenyum dan mengangguk lirih sambil menjanjikan waktu pada mereka untuk datang kembali.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement