REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: L Malaranggi*
Apalah arti menunggu jika seseorang tak kunjung datang, apalah arti menunggu jika yang ditunggu tak kunjung menemu. Apalah arti tentang menunggu itu, menunggu mungkin sesuatu yang setiap detik mempunyai sekilas bayangan yang berkaitan dengan waktu, perasaan dan hal yang menyangkut harga diri seseorang. Janji-janji, berbagai kata yang terucap sirna. Sebenarnya kenapa orang menunggu, mengapa ia duduk di halte dan terus menunggu, kenapa pula ia duduk di kursi lalu memandangi sekitar dengan berteman bunga-bunga yang ada di sekelilingnya. Apalah arti menunggu itu, entahlah.
Perempuan paru baya duduk, termenung di sebuah teras rumah sambil membawa teh yang ada di cangkir dengan tangan lusu, keriput yang sedikit tipis untuk digenggam. Ia menyeruput dengan hangat sesapan demi sesapan, teguk demi teguk. Ia lalu memandangi platfom rumah yang sedikit rembes terkena air hujan semalam, ia pun memandangi bunga-bunga yang ia rawat sejak masih remaja dan ia saksikan kupu-kupu bertebrangan di sekitarnya.
Setiap detik, menit hingga jam. Kursi yang di sebelah perempuan paru baya itu kosong, lama sekali tak ada yang menempati, berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya. Kursi yang senantiasa kosong itu ia pandangi sebagai memori yang hangat di kala ia menyesap teh kesukaannya setiap pagi dan sore, hingga temaram tiba.
“Kapankah pulang, Pak. Aku merindukanmu” – ia berkata dalam hati
Rumah itu sesekali ramai dalam pikirannya, sesekali juga sepi. Rumah yang puluhan tahun itu yang terbuat dari kayu jati yang direndam yang koko di zaman 90an membuat bangunannya tidak gampang keropos. Tetapi, sesekali air hujan menerpanya, platfom-platrom rumah itu seketika rembes waktu demi waktu terus menerus.
“Bagaimana bisa, Pak. Kau tak ada di sampingku sedangkan aku merana sendiri disini tak ada yang menemani, sepi.” – tuturnya dalam hati.
“Aku tidak mungkin bisa membereskan ini semua tanpa keberadaanmu disini, aku membutuhkanmu disini, Pak.” – Ia kembali berbicara dalam hatinya.
Daun-daun yang hijau di sekitaran depan rumahnya begitu indah, ia teringat jelas tentang ingatan beberapa tahun silam setelah ia ditinggalkan oleh suaminya untuk selama-lamanya. Daun-daun dan bunga-bunga yang ia rawat dengan suaminya itu suatu kenangan manis yang kadangkala ia resapi betul-betul sebagai suatu ingatan indah tentang kebersamaan. Ia terus memandangi, sesekali ia menengok kanan-kiri, melihat burung di sekitaran yang hinggap dan kupu-kupu yang lalu-lalang ke sana ke mari.
“Bukankah kau pernah bilang dulu, Pak. Kau berjanji akan menemaniku hingga kita menua bersama lalu pergi bersama, selamanya.” – Ia berbicara di hatinya
“Apalah arti menunggu, Pak, kau yang menunggu, apa aku yang menunggu. Sebetulnya apa itu arti menunggu, Pak. Jawablah dengan tegas seperti ketika kamu melamarku dengan ikatan suci yang penuh dengan ketegasan.” – Ia terus bertanya-tanya dalam hatinya, air matanya menetes lirih, tetes demi tetes.
Perempuan paru baya itu lalu menutup pintu, ia masuk ke kamar mandi mengambil air suci, menyalahkan kran dan membilas wajah dan seluruh organ tubunya. Ia lalu mengambil sajadah, khusyuk meminta dan seketika mendoakkan kepala ke atas dibarengi dengan kedua tangannya yang diangkat. Berdoa, meminta agar ia senantiasa dijaga dalam dekapnya, dalam lindungnya, dalam hangatnya dan dalam peluknya.
Ia meneteskan air mata, khusyuk berdoa, merapal mantra dan berbicara lirih penuh penghayatan seorang hamba pada tuhannya, ia bertanya tentang kenapa ia menunggu tanpa jedah, memintah arah, jalan yang ia lalui tak berarah, ia ingin pulang pada dekapnya yang indah yang penuh dengan aroma surga. Ia terus meneteskan air mata, sungguh kali ini deras sekali air matanya mengalir hingga ia usap dengan tasbih cinta, berkat doannya. Ia terus berdoa dan bertanya kenapa ia menunggu, dan apalah itu arti menunggu, tuturnya.
*L Malaranggi seorang pembelajar sepanjang hayat, mahasiswa aktif, sering menulis puisi, cerpen dan opini di berbagai media online dan media sosial miliknya @malarangiii