REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Saepudin (39 tahun) masih mengingat malam ketika tsunami menerjang Pandeglang. Malam itu adalah malam yang tak pernah bisa dilupakan oleh nelayan asal Kampung Sidamukti, Kecamatan Sukaresmi, Pandeglang, Banten ini.
Dia tak pernah manyangka jika malam itu kebahagiaannya ikut tersapu tsunami yang menerjang pesisir Banten dan Lampung pada Sabtu, 22 Desember 2018 lalu. “Malam itu saya merasakan dua musibah yang besar. Buat saya (musibah) ini sangat dalam, karena saya harus kehilangan rumah dan istri saya,” ujar dia.
Saat itu, Saepudin bersama salah seorang anaknya sedang membetulkan jaring yang rusak. Sebagai nelayan kecil, jaring tersebut sangat berharga baginya dan keluarga kecilnya. Melalui jaring itu, Saepudin bisa menafkahi seluruh anggota keluarganya.
Meski seadanya, Saepudin, istri, dan ketiga anaknya selalu merasa bahagia hidup bersama. Sekitar pukul 21.20 WIB, Saepudin mendengar suara gemuruh dari laut. Ia kemudian berdiri dan menatap ke arah pekatnya lautan.
Ia tak merasa curiga ada bahaya yang segera menghampirinya karena tidak ada tanda-tanda apapun. Tak disangka, gelombang setinggi hampir tiga meter dengan cepat menerjangnya.
“Waktu itu, istri dan anak sudah tidur tapi belum nyenyak. Saya di depan teras sedang betulin jaring karena saya nelayan. Saya sempat dengar suara gemuruh dari lalut dan saya sempat berdiri. Tiba-tiba ombak setinggi tiga meter menerjang saya,” ujar Saepudin.
Seketika, tubuh Saepudin terpental, sementara anak-anak dan istrinya masih berada di dalam rumah. Dengan cepat, rumah yang dibangun dengan susah payah itu ambruk dan menimbun istri dan anak-anaknya.
Setelah mulai surut, Saepudin berhasil selamat. Dia segera menyelamatkan keluarganya yang masih tertimbun reruntuhan rumah. Beruntung, saat itu istri dan anaknya masih selamat meskipun babak belur.
Setelah berhasil mengevakuasi keluarganya, Saepudin melarikan diri ke tempat yang lebih aman. Istrinya yang saat itu luka parah pun ikut melarikan diri bersama anak-anaknya.
Usai kejadian tak terduga itu, Saepudin dan keluarganya tinggal di pengungsian Angsana. Sesekali, ia kembali ke rumahnya dan mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Sayangnya, tak ada benda berharga yang tersisa di antara puing-puing rumahnya. Perahu dan jaring yang ia gunakan untuk mencari nafkah pun ikut hanyut tak tersisa.
“Rumah pun nggak ada yang tersisa. Barang-barang juga tidak ada yang bisa diambil. Saya lari bersama anak saya dengan pakaian seadanya,” kenang Saepudin yang mulai berkaca-kaca.
Setelah kehilangan harta bendanya, Saepudin harus menerima kenyataan pahit lainnya. Di pengungsian, luka yang diderita istrinya bertambah parah. Rupanya, selain luka yang terlihat mata, istri Saepudin juga mengalami luka dalam dan beberapa upaya telah dilakukan. Namun, takdir berkata lain.
Istrinya meninggal dunia selang beberapa hari setelah tsunami menerjang. “Istri saya meninggal di (pengungsian) Angsana,” ungkap Saepudin masih dengan mata berkaca-kaca.
Luka Saepudin semakin menganga dan waktu seolah berhenti begitu saja. Batinnya semakin perih melihat ketiga anaknya yang masih sangat membutuhkan perhatian ibunya itu. Saepudin hampir saja putus asa. Tetapi, ia kemudian sadar bahwa hidup harus berlanjut dan ketiga anaknya harus diperhatikan.
Tsunami akibat longsoran Gunung Anak Krakatau itu tak hanya menghabiskan harta benda dan istrinya. Perahu satu-satunya yang ia gunakan untuk mencari nafkah pun ikut tersapu tsunami.
Selama berbulan-bulan, Saepudin hanya bisa ikut nelayan lain yang mencari ikan. Berharap, ada sedikit keuntungan yang diterimanya sehingga anak-anaknya bisa tetap sekolah.
Setelah berbulan-bulan menumpang perahu nelayan orang lain dan tinggal di hunian sementara di Sidamukti, Saepudin akhirnya mendapat kabar gembira. Ia mendapat kabar jika dirinya dan beberapa teman nelayan lainnya akan mendapat bantuan perahu dari Daarut Tauhiid (DT) Peduli.
“Awalnya saya diberitahu ada bantaun perahu, kemudian didata. Saya bahagia, dan berfikir, ada juga yang masih memperhatikan saya,” kata dia dengan wajah penuh harapan.
Akhirnya, pada 15 Juli 2019 lalu, Saepudin dan 14 nelayan lainnya bisa bernafas lega lantaran perahu beserta perlengkapan lainnya diberikan cuma-cuma oleh DT Peduli dan YBM PLN. Tak hanya di pesisir Sidamukti, 17 perahu, 1 bagang apung, dan 1 unit traktor sawah juga diberikan kepada nelayan di Pantai Camara.
Saepudin dan nelayan lainnya kini kembali mempunyai harapan. Mereka pun gembira karena apa yang para nelayan cita-citakan akhirnya terwujud. Saepudin, mewakili nelayan lainnya pun berterima kasih kepada DT Peduli dan YBM PLN yang sudi membantunya.
“Terima kasih kepada DT Peduli dan YBM PLN. Alhamdulillah doa saya terkabul dan kami kembali punya perahu seperti yang kami cita-citakan. Semoga DT Peduli terus memperhatikan masyarakat yang terkena musibah dan lebih baik dari yang sudah diberikan ini. Terima kasih sudah memperhatikan saya yang sebatangkara ini,” ujar Saepudin.