Akses pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia semakin meningkat seiring dengan layanan disabilitas yang semakin banyak disediakan di sejumlah kampus Indonesia.
Tersedianya layanan ini berarti membutuhkan mahasiswa lainnya untuk membantu para mahasiswa difabel seumuran yang memiliki keterbatasan fisik, mental, dan lainnya.
Gadis Pratiwi, usia 25 tahun, misalnya pernah menjadi sukarelawan di Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD UB) di Malang pada tahun 2015.
Selama dua tahun, gadis yang sekarang kuliah di Monash University, Melbourne, pernah membantu aktivitas belajar mahasiswa difabel di Universitas Brawijaya yang memiliki beragam keterbatasan.
"Kalau yang didampingi mahasiswa tuli berarti mengisyaratkan ke dosen siswa bersangkutan berbicara apa," kata Gadis kepada wartawan ABC Indonesia, Natasya Salim.
"Kalau mendampingi tunanetra, tunadaksa atau yang menggunakan kursi roda berarti mengantar ke kelas dan membantu membuat catatan."
Awalnya ia melakukan pekerjaan ini karena tertarik untuk belajar bahasa isyarat, tapi ia juga ingin bisa bermanfaat bagi orang lain.
Seperti hanya Gadis, banyak juga mahasiswa lainnya di Indonesia yang mengemban tugas ini dan mereka mengaku mendapat "uang transportasi dan uang pulsa".
Membantu difabel dibayar tinggi di Australia
Lainnya halnya dengan di Australia, mereka yang membantu mahasiswa difabel mendapat apresiasi yang lebih tinggi, bahkan menjadi sebuah pekerjaan profesional.
Seperti yang dilakukan Emily Heng di Melbourne. Ia mengaku mendapat bayaran sebesar $35, sekitar Rp 340 ribu per jam.
"Saya bekerja membuatkan catatan [untuk] dua orang siswa lima jam seminggu. Di sini kami dapat memilih mau mengambil berapa kelas. Supervisor yang akan menempatkan," ujar Emily, seorang penulis catatan di Layanan Pendukung Disabilitas di Monash University.
Tetapi Emily mengatakan ia mengambil pekerjaan ini bukan hanya karena uang, tapi ingin mau menolong penyandang disabilitas.
"Saya mau bergabung karena ingin memberikan dukungan kepada penyandang disabilitas di universitas," ungkap mahasiswi S2 Hukum Universitas Melbourne tersebut.
"Bekerja casual di tempat ini juga memberikan saya fleksibilitas waktu, karena saya bisa bekerja sambil belajar."
Ia mengatakan tugas lain yang dilakukan adalah membantu siswa difabel menulis saat ujian atau menjadi penerjemah AUSLAN, agen yang menyediakan jasa bagi orang tuli di Australia.
Mendongeng untuk anak tunarungu
Gadis sedang menyelesaikan skripsi berjudul "Pengalaman Akademis dan Sosial Mahasiswa Tuli Tahun ke-3 Universitas Brawijaya" dan ia mengatakan masih ada masalah dalam penggunaan bahasa isyarat di Indonesia.
"Ada dikotomi antara bahasa isyarat Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)," kata Gadis.
"Kami tetap harus belajar kedua bahasa ini karena teman-teman tuli belajarnya SIBI dan kurikulum pemerintah juga pakai SIBI."
SIBI diciptakan oleh orang yang bisa mendengar sehingga kurang memfasilitasi penyandang tuli.
"[Sementara] anak-anak tuli sebenarnya lebih memilih BISINDO karena itu adalah bahasa isyarat yang mereka buat sendiri," ucap Gadis.
"Sedangkan pemerintah belum mengakomodasi BISINDO."
Namun, Gadis tetap berusaha berkontribusi bagi anak penyandang difabel dengan mendirikan organisasi Tuli Mendongeng bagi anak tuli.
"Dongeng bisa meningkatkan literasi anak kecil, meningkatkan minat membaca sejak kecil dan melatih nilai moral," katanya.
"Sedangkan anak tuli tidak punya kesempatan itu, jadi kami sampaikan dengan bahasa isyarat sehingga mereka punya kesempatan mengetahui dongeng."
Simak berita terkait studi, kerja, dan tinggal di Australia hanya di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.