Rabu 31 Jul 2019 13:12 WIB

KH Abbas Kadugede Pemimpin Laskar Hizbullah dari Kuningan

KH Abbas Kadugede bersama santri berjuang mengusir penjajah.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Agung Sasongko
Santri
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Santri

REPUBLIKA.CO.ID, KUNINGAN --- Setelah wafatnya KH Zainal Anwar, kepemimpinan Pesantren Al Ihsaan Kadugede diteruskan putranya yaitu KH Abbas atau dikenal Abah Abbas Kadugede. KH Abbas yang lahir pada 1907 mampu membawa Pesantren Al Ihsaan Kadugede semakin berkembang. Kiai Abbas tak hanya dikenal sebagai ulama yang pandai berorasi, ia pun bahkan turut serta mejadi motor penggerak perlawanan terhadap penjajah.

Kala itu, santri-santri KH Abbas Kadugede yang kebanyakan dari Jawa Barat terutawa Kuningan, Ciamis, hingga Tasikmalaya tak hanya dibekali keilmuan agama. Di pesantren itu, KH Abbas Kadugede yang juga menjadi komandan laskar Hizbullah di Kuningan memberikan pelatihan-pelatihan berperang pada para santrinya.

Saat dirinya mendapat kabar akan adanya penyerangan besar-besaran terhadap sekutu di Surabaya pada 10 November 1945, Kiai Abbas pun memerintahkan santri-santrinya untuk bergabung bersama dengan para santri di Cirebon dibawah komando KH Abbas Buntet yang akan berangkat ke Surabaya. Satu diantara santri kepercayaannya yang dikirim ke Surabaya yakni Kiai Wasmad.

“Kiai Wasmad diperintahakn untuk berangkat ke sana kumpul ke Cirebon, tapi belaiu meninggal dunia (dalam pertempuran 10 November di Surabaya),” tutur KH Mansur Yunus putra dari Kiai Abbas Kadugede saat berbincang dengan Republika,co.id

Menurut KH Mansur dua tahun setelah kemerdekaan, penjajah belum benar-benar hengkang dari Indonesa. Markas tentara sekutu masih berdiri kokoh di Desa Sindang Jawa, Kadugede. Karena itu, sekitar pukul 3 pagi KH Abbas Kadugede bersama saudaranya Haji Makmur memimpin sejumlah pasukan untuk melakukan serangan fajar ke markas sekutu. Tapi penyerbuan itu tak berhasil, pergerakan pasukan KH Abbas Kadugede diketahui terlebih dulu.

“Karena ada yang jadi mata-mata sekutu, jadi saat mau menyerang sudah dikepung duluan,” tutur KH Makmur.

Kala itu, menurut KH Makmur banyak pasukan KH Abbas yang meninggal salah satunya yakni Kiai Bunigeulis yang dikenal sebagai jawara silat. Kiai Bunigeulis ditembak setelah menumbangkan beberapa tentara sekutu. Beruntung KH Abbas bisa meloloskan diri dari pengepungan itu. Ia bersama Haji Makmur menggulingkan diri ke lembah hingga tak diketahui musuh.

Pada 13 Agustus 1959 KH Abbas wafat. Kiai Mansur mengisahkan, ayahnya yang saat itu sendang mengajar mengaji diberondong tembakan oleh orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menyamar sebagai tentara. “Kiai Abbas dipanggil ini tentara-ini tentara mau ketemu. Kiai Abbas keluar ternyata PKI, orang-orang merah pura-pura membela Islam tapi membunuh,” katanya.

Kiai Mansur yang saat itu tengah menimba ilmu di Pesantren Tasikmalaya pun memutuskan kembali ke kampung halamannya. Sepeninggal Kiai Abbas, Kiai Mansur meneruskan kepemimpinan Pesantren Al Ihsaan Kadugede hingga saat ini.

Pesantren Al-Ihsaan Kadugede sendiri merupakan salah satu pesantren tua yang ada di Kuningan, Jawa Barat. Pesantren yang berlokasi di Desa Windujanten Kecamatan Kadugede, Kuningan itu didirikan pada abad ke-19 atau 1830 M.

Pendirinya adalah KH Asfanudin atau dikenal Mbah Asfanudin. Beliau adalah putra Kiai Adroi bin Kiai Yusuf, ulama yang juga mensyiarkan Islam di Kuningan. Kiai Asfanudin memiliki silsilah hingga pada syekh Abdul Muhyi Pamijahan atau dikenal Mbah Pamijahan. Andrian Saputra

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement