REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Sarbini
Suatu ketika, Rasulullah SAW mewanti-wanti agar umatnya mampu mengekspresikan rasa malu kepada Allah SWT dengan sebenarnya. ''Istahyû minallâhi haqqalhayâi (Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu),'' sabda Rasulullah. Mendengar Rasulullah bersabda, kemudian sahabat berkata, ''Yâ nabiyallâhu innâ lanastahyî wal hamdulillâh (Wahai Nabi Allah, sungguh kami telah merasa malu).''
Kemudian, Rasulullah bersabda, "Laisa dzâka, walakinal istihyâ'a minallâhi haqqalhayâi antahfadharra'sa wamâ wa'â wa tahfadhalbathna wamâ hawâ watatadzakkaralmauta walbilâ. Faman fa'ala dzâlika faqadistahyâ minallâhi haqqalhayâi (Bukan itu yang aku maksud! Akan tetapi, malu kepada Allah yang sebenarnya itu, kamu menjaga kepala dengan segala yang dikandungnya, menjaga perut dengan segala isinya, dan senantiasa mengingat maut dengan segala siksanya. Barang siapa melakukan semua itu, ia telah merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya).''
Perasaan malu ialah salah satu benteng yang sangat efektif untuk menghindarkan kita dari segala bentuk perilaku buruk. Kita tidak akan berkata kotor, kasar, dan cabul karena kita merasa malu. Kita tidak akan membuang sampah sembarangan karena kita merasa malu. Kita menutupi aurat karena merasa malu. Sebagai insan berakal, ketika kita berselisih dengan sesama, menyelesaikannya menggunakan logika dan akal sehat, tidak dengan cara-cara fisik karena kita merasa malu.
Sementara, makna dari matan hadis ''menjaga kepala dengan segala isi yang dikandungnya" adalah menjaganya dari kebiasaan berpikir buruk (negative thinking), menjaganya dari pengetahuan atau informasi palsu, dan kritis terhadap pengetahuan atau informasi yang diterima. Dari siapa pun pengetahuan atau informasi itu datang, harus diolah secara kritis, sehingga yang tersimpan hanyalah pengetahuan yang bersih, benar, dan ilmu yang mencerahkan, bukan pengetahuan sesat dan menyesatkan.
Adapun, makna dari matan hadis "menjaga perut dengan segala isinya", yakni menjaga perut dari makanan haram yang sudah jelas terlarang, baik zat atau cara memperolehnya, dan menjaganya agar tidak diisi secara berlebihan, sekalipun oleh makanan yang halal.
Kemudian, makna dari matan hadis "senantiasa mengingat maut dengan segala siksanya", yakni dengan kondisi kehidupan yang pragmatis, materialis, hedonis, dan konsumerisme menyebabkan manusia sangat gandrung dengan kesenangan dunia, seolah lupa pada kematian. Padahal, Allah SWT berfirman, "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu kendati kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS an-Nisa [4]: 78).
Gandrung terhadap kemewahan duniawi tidak boleh memalingkan kita untuk selalu ingat pada kematian dan memperbanyak bekal untuk kehidupan akhirat. Dengan rasa malu kepada Allah, insya Allah, kita akan mendapatkan kebahagiaan hakiki di akhirat.
Islam mengajarkan bahwa rasa malu merupakan bagian dari iman. Sabda Nabi SAW, al-hayâu' min al-îmân, bahwa perasaan malu adalah sebagian dari iman. Malah, dalam hadis lain, Rasulullah menegaskan, iman dan rasa malu merupakan sesuatu yang tak terpisahkan. Al-îmanu wa al- hayâu' quranâu' jamî'an, faidzâ rufi'a ahaduhuma rufi'a al-âkharu (Iman dan rasa malu senantiasa bersama, apabila salah satunya hilang maka hilanglah yang lainnya). (HR Hakim dan Thabrani). Ini artinya, ekspresi malu dalam keseharian itu merupakan cermin kualitas keimanan kita.
Di dalam aktivitas keseharian, ekspresi rasa malu ditujukan kepada sesama manusia dan Allah. Dari dua ekspresi rasa malu ini, tentu saja nilai ekspresi rasa malu tertinggi adalah ekspresi rasa malu kepada Allah. Ekspresi rasa malu kepada-Nya membuat ekspresi rasa malu kita, kepada sesama menjadi bermakna. Bagaimanapun besarnya ekspresi rasa malu kepada sesama, jika tidak dibarengi dengan ekspresi rasa malu kepada-Nya, ekspresi itu tidak memiliki arti apa-apa di hadapan Allah. Wallâhu a'lam.